blog yg lain

Friday, October 24, 2014

Amir

Lelaki itu mengepalkan tangan ke atas.
Lagu Internasionale tergetar dari mulutnya. Disusul Indonesia Raya
Dieja dengan penuh semangat namun letih.
Udara terasa panas di kemarau yang terik itu.
Debu berterbangan membuat matanya perih.

Kereta yang menurunkan sepuluh orang itu  merayap pergi dengan asap mengepul dan tatapan mata beberapa tentara yang menyungging senyum sinis. “mati kau penghianat!” umpat salah satu diantara tentara itu, dengan tatapan jijik.

Sisa asap kereta menerpa wajah lelaki itu.
Wajah yang keras, namun lelah. Wajah yang memendam kekecewaan sangat dalam.
Kekecewaan yang menumpuk dari banyak peristiwa yang sudah dilewatinya selama menghela republik yang masih muda ini.

Republik yang masih terseok oleh banyak kepentingan. 
Republik yang diploklamirkan dengan lantang tapi tidak tuntas persiapannya. 
Republik yang masih menjadi rebutan para bekas penjajahnya.
Teringat betapa hampir seluruh masa mudanya habis untuk berjibaku dalam memperjuangkan republik.
Menemani presiden tampan itu mempersiapkan kemerdekaan dengan cara menelikung Jepang yang sedang sempoyongan.
Lau melegalkan negara yang masih muda dengan membuat partai yang akan menjadi legitimasi sebuah negara. Memeram ideologi yang simpang siur mencari celah untuk berkuasa, dari geromboan fundamentalis agama, sampai kapitalis yang ngiler melihat betapa kayanya Indonesia.

Ia sendiri didikan komunis. Yang pasti anti kapitalis. 
Meski harus berseteru dengan temannya se-ideoogi, macam Tan Malaka yang pernah berusaha menggulingkan posisinya sebagai pemangku pertahanan. 
Tapi ia justru berhasil memadamkan pemberontakan Tan Malaka dan kawan-kawannya di kelompok persatuan perjuangan.
Sebelumnya Tan malaka berhasil menculik Sahrir dan menggulingkannya dari posisi perdana menteri. 
27 juni 1946 Sahrir diculik di Surakarta.Laskar Persindo dan tentara perjuangan berhasi ia komando untuk membungkam Tan Malaka. Rebutan kuasa di sekitar Sukarno sangat sengit. Tan malaka mampu meyakinkan Sukarno bahwa Sahrir terlalu lembek menghadapi Belanda.

Tapi, Tan Malaka salah berhitung. Ia bukan orang sembarangan. 
Dengan cepat di ditempelnya sang presiden. Lalu keadaan segera dibalikkan. 
Sukarno berpaling padanya, sampai kemudian Tan Malaka dan kawan-kawan diadili. 
Meski tak dinyatakan bersalah, mereka tetap harus mendekam di penjara.

Leaki itu tersenyum pahit mengenang semuanya.
Kini ia menjadi anjing kurap yang tak berharga. 
Dibawah todongan senjata dan dipinggir kuburan yang sudah digali untuknya dan  sepuluh kawan se-ideologinya.
Ideologi yang selalu berbunga dan beraoma damai. 
Meski sejarah sealu berkata lain. Sejarah perjuangan adalah perebutan kekuasaan, yang itu berarti perang. Perang yang meruamkan darah dan mencerabut nyawa.

Kini giliran nyawanya siap menjadi tumbal revolusi.
Revolusi yang acap mengganyang anaknya sendiri

Ia yang dulu bahu membahu mengusir penjajah kini dijajah kawannya sendiri.
Atas nama perbedaan ideologi dan kepentingan kini nyawanya tinggal sejengkal.
Nyawanya terancam dicabut justru oleh orang sebangsa, bukan Belanda atau Jepang yang susah payah di usirnya.
Selain tentara, beberapa penduduk yang memegang cangkul menatap dirinya dengan jijik.
 “komunis anjing!” seru mereka.
“Penghianat negara!!” yang lain ikut berteriak geram.

Lubang tanah menganga di depannya. Di gali oleh orang-orang yang sejatinya ia perjuangkan agar merdeka.
Merdeka dari penjajahan asing dan kebodohan tentu saja.
Kini mereka yang siap menguburkannya seperti anjing kurap.
Tanpa kafan, apalagi upacara keagamaan.

Dipejamkan matanya, berkonsentrasi pada aliran darahnya, yang barangkali terpompa untuk terakhir kali.
 Ingatannya masih bersengkilat.
Masih berputar mengingat semuanya. Ingatan yang ingin ia matikan, seiring matinya raga yang sudah lemah ini.
Ya... sudah berhari-hari makanan menjadi barang langka.
Sebelum senjata di tangan tentara-tentara itu menyalak mencabut nyawanya, beserta sepuluh temannya. Sebelum orang-orang yang dulu diperjuangkannya itu mengubur jasadnya di dalam lobang besar, tanpa nisan tentu saja.

Ingin ia melepas semua egonya. Melepas ego manusiawinya yang lekat dengan keduniawian.
Seperti yang ia rasakan beberapa bulan terakhir.
saat ia bisa tertawa pahit. Betapa bodohnya ia yang dikuasai nafsu berkuasa, juga cita-cita menegakkan ideologi muluk yang ternyata hampa.
Lalu menjumpai kehampaan lain yang membuatnya  nyaman.
Sampai bisa memeram rasa sakit karena dihianati. Karena di hajar berkali oleh tentara yang duu adalah bawahannya.
Diingatnya doa-doa yang seperti menjadi cahaya.

Lirih di dengarnya suara nyanyian internasionale dinyanyikan rekannya. Sebelumnya iapun ikut menyanyikan.
Untuk meneguhkan semangat juang mungkin:
C'est la lutte finaleGroupons-nous, et demain
L'Internationale
Sera le genre humain
Inilah perjuangan penghabisan,
Mari kita berkumpul, maka besok,
Internasionale,
akan jadi ras manusia.

Sementara ia memilih bisu. Setelah ketenteraman itu berangsur menyusupi hati dan  jiwanya.
sampai kemudian senjata para serdadu itu menyalak, “dorrrrr”...Menghajar tubuhnya mengenai jantung. Juga tubuh kesepuluh temannya.
Tubuhnya tersungkur, rebah sehina-hinanya.
***
Orang-orang itu cekatan menimbun jasadnya.
Sampai tanah yang sebelumnya menggunung jadi rata.
Lalu meninggalkannya. Tanpa nisan atau sekedar tanda.
Diantara debu kemarau yang kering dan nestapa.

Thursday, May 15, 2014

Doa yang dibajak



laki-laki itu sedikit terhuyung, saat kereta mulai merambat berjalan meninggalkan Stasiun Bogor.
Selewat gerbong tiga, diputuskannya duduk setelah menemukan bangku kosong.
Kereta cukup lengang di jam tanggung seperti saat ini.

Tangannya terlihat memegang tasbeh, yang kemudian diputarnya seiring mulut yang komat-kamit merapal bacaan.
Perutnya yang gendut tampak bergerak-gerak dibalik baju koko warna hijau yang ia kenakan.
Wajahnya dengan jenggot sekepal terlihat agak pucat. Di kepalanya bertengger peci putih.

Mulutnya masih terus merapal doa.
Sampai akhirnya matanya terpejam. 
Rupanya ia tertidur. Mungkin goncangan kereta seperti ayunan bayi yang menina bobokkannya.

Dari kejauhan seorang lelaki lain tampak  tajam menatap kearah lelaki yang memegang tasbeh.
Di matanya terlihat kejanggalan.
Sesosok gaib yang terbentuk dari sekumpulan cahaya berwarna putih kecoklatan terlihat olehnya nangkring diatas lelaki gemuk bertasbeh yang barusan asik merapal doa.
Doa-doa yang diambi dari ayat suci itu setelah terlepas dari mulut lelaki bertasbeh lalu menjelma menjadi butiran cahaya keperakan yang melayang ke udara.
Cahaya keperakan itu rupanya ditangkap oleh sosok gaib yang ada diatas lelaki bertasbeh.
Gaib itu dengan rakus menyambar setiap doa yang menjadi cahaya, lalu memakannya dengan rakus
Rupanya gaib itu memang sedang memperalat leaki gemuk bertasbeh yang memang rutin merapal doa. Setiap doa yang dibacanya selau menjadi santapan gaib yang selama ini mengikutinya.
Mereka telah terikat perjanjian yang tak disadari oleh lelaki bertasbeh itu.

Sementara itu si lelaki bertasbeh masih terihat tertidur pulas.
Dalam tidur ia bermimpi menemukan emas di dalam lemari bajunya.
Wajahnya terlihat tersenyum dalam tidur pulasnya.

Kereta bersiap berhenti di stasiun Citayam. Gesekan roda kereta menimbulkan suara berdecit yang membangunkan tidur lelaki bertasbeh.
Lelaki itu terbangun. kemudian perlahan bangun dari duduknya, lalu beringsut mendekat ke pintu kereta. Gaib diatasnya mengikuti.
Pintu kereta terbuka seteah sesaat kereta berhenti.
Lelaki bertasbeh sigap berjalan keluar dari kereta, meninggalkan tatapan tajam lelaki lain di dalam kereta.
Di mata lelaki di dalam kereta itu, si gaib melirik ke arahnya dengan tatapan mengancam.
Tetapi leaki di dalam kereta itu tidak gentar. Matanya bersinar menantang tatapan si gaib.


“tunggu nanti jam dini hari. Ku kejar kau!” desisnya mengancam.

Sunday, April 13, 2014

Menaklukkan Gelap

( Prolog dari novel LORI, membalik ingatan )

Ini adalah ceritaku,
Cerita dimana aku harus merentang ingatan lagi. Saat aku kecil dengan segala kenangan kanak-kanak.
Dengan segala keterbatasan yang justru menjadi kekuatan untuk selalu bisa mengatasinya. Saat hidup masih terasa sederhana tetapi mengasyikkan.
yang pasti, saat itu aku belum menanggung beban seperti sekarang ini. Hidup masih tergantung orang tua dengan segala kesederhanannnya. Sederhana tetapi lebih terasa mandiri dan tak perlu pusing dengan remeh temeh di dunia terkini yang kalau dipikri-pikir lama-lama menimbulkan keregantungan dan memusingkan. Misalkan soal listrik. Di masa kecilku, listrik belum masuk desa. Kami anteng saja hidup dalam kegelapan. Rekening listrik bukan masalah kami waktu itu. Juga dering alat komunikasi seluler yang setiap saat minta di isi tenaganya.
Permainan pun bisa kami dapatkan di sekitar rumah. Kulit jeruk bisa menjadi mobil sedan mewah. Sabut kelapa bisa menjadi kapal tanker canggih. Pelepah pisang bisa menjadi kuda nan gagah. Bahkan gedebog pisang bisa menjadi perahu cadik yang lincah mengarungi kedung desa yang tak pernah surut airnya.
dan masih menyisakan ingatan di otak yang sudah berkarat dan sarat beban ini. Otak yang sudah tertimbuni bermacam masalah hidup yang setiap waktu semain pepat.
 Th 1980, Kata bapak, aku harus ikut ibu.
Ya, Kakek dari ibu sekarang sendirian di Nglembu, desa kecil di ujung kabupaten Bantul. Setelah Lik Siti menikah, kakek praktis tidak ada yang menemani. Lik Bas juga sudah pindah ke kota Bantul. 
Semua anak kakek yang berjumlah tujuh orang sudah mentas semua.
Terakhir kemarin Lik Siti disunting lelaki hasil perjodohan antar keluarga.
Ibu, sebagai anak perempuan tertua, akhirnya yang memilih mengalah, menemani kakek. Meninggalkan keluarga besarnya di Pujokusuman Jogjakarta, pindah ke Nglembu. Meninggalkan anak-anaknya yang mulai tumbuh dewasa.
Aku sendiri masih enol besar. Jadi nanti kalau ikut pindah aku akan masuk SD di Dusun Nglembu, Panjang Rejo Pundong Bantul.
Lalu, mulailah hidupku di dusun kecil itu. Yang listrik belum masuk ke dalamnya.
Satu-satunya yang terang benderang saat malam hanya rumah diujung kampung, milik pak Margiyono.yang memiliki mesin diesel.
Saat malam minggu pemilik rumah itu berbagi lampu untuk lapangan bulu tangkis. Aku suka ikut nongkrong melihat bulu tangkis, skalian merasakan terangnya lampu listrik. Sebelum akhirnya kembali lagi ke rumah joglo besar milik kakek yang temaram diterangi lampu minyak.

Adaptasi kegelapan, itu yang pertama kali dilakukan.
Saat di kota Jogja, kami sudah memasang listrik. Aku sudah terbiasa benderang saat malam. Lalu ketika di Nglembu, mata ini harus beradaptasi saat malam harus mengulang pelajaran sekolah.
Dibawah redup cahaya lampu teplok, mengeja pelajaran membaca yang sesiang tadi diberikan di sekolah.
Tetapi gelap juga memberi keasyikan tersendiri.
Kala malam aku suka iseng dengan Dayat, kakakku membuat wayang-wayangan.
Berbekal kertas minyak yang kami jadikan layar, kami memainkan figur-figur yang dibuat sendiri sesuai imajinasi. Ada bentuk raksasa, ada bentuk pak lurah, ada orang-orang kebanyakan. Lalu figur itu di potong sesuai gambarnya. Setelah itu, dengan benang yang kami ikat di kaki meja, orang-orangan itu kami tempelkan. Setelah sebelumnya di depan kaki meja kami pasang kertas minyak. Lalu  terciptaah bayangan yang bergerak-gerak, saling bicara, kadang bertengkar atau berceloteh lucu. Kami pun jadi punya ruang untuk meledek pak Lurah, atau mandor tebu yang suka mengejar-ngejar kami. Atau pak Wo Cokro yang galak itu dalam cerita bisa gantian kami marahi.
Sejenak menikmati kemenangan yang kami ciptakan sendiri.

Asik sekali permainan ini.
Awalnya hanya kami berdua, lalu anak-anak tetangga mulai berdatangan.
Awalnya Pangat yang tinggal pas di depan rumah., Kemudian Domber dan  Jawadi kakak Domber pun bergabung.

Kalau bosan dengan wayang, kami bermain “sereng”
Kami akan menguliti jeruk bali, kemudian menekan kulit tersebut sehingga ada cairan yang kami sebut sereng. Sereng itu mengandung minyak yang kalau kena api akan menyala.
Seakan-akan gas yang membara keluar dari cerobong.
 Yang paling asik adalah saat main jethungan di belakang rumah saat bulan purnama.
 Saat cahaya bulan menguasai desa kami.
Anak-anak kecil berkumpul di teras, lalu pindah ke kebun belakang.
Disana ada pohon mangga besar. Di tempat itulah permainan jethungan di mulai.
Yang  jadi akan menutup matanya di pokok pohon. Lalu yang lan akan lari.. bayangkan mencari lawan di kegelapan. Padahal kebun kakek lumayan luas.
Pernah aku curang. Sembunyi di dalam rumah, lalu ketiduran. Esoknya aku di omelin anak-anak lain..

Kegelapan desa akhirnya menjadi sahabatku. Sahabat kami.
Kegelapan yang awalnya cukup menyiksa , lama-lama menjadi biasa.
Bahkan jadi terasa  mengasikkan.

Lori

Tahun 1982
Musim panen tebu telah tiba,
Itu berarti kampungku akan benderang kembali.
Setelah singup karena dikelilingi ilalang tinggi yang seakan menenggelamkan kampung dalam rimbunan tanaman nan rapat, yang saat malam membuat suasana jadi ringut.
Juga membuat banyak maling berkeliaran di desa. Mereka merasa leluasa saat melarikan diri sehabis mencuri. Terbon menjadi tempat yang aman pelarian mereka.

Pakwo Cokro, yang menjadi keamanan kampung kami paling di segani maling-maling itu. Konon kabarnya ia dug-deng ditunjang tubuhnya yang tinggi.
Maling-maling yang tertangkap oleh dia lalu di seret ke Pundong. Tapi bisa dipastikan sebelumnya dibuat babak belur terlebih dahulu.
keganasan maling pernah kulihat saat di suatu malam ada yang mencoba menggangsir rumah Pak Dukuh. Tembok rumah yang kokoh di bobok dengan linggis, sampai tembus. Lalu maling-maling itu masuk lewat lubang gangsiran
Setelah bisa masuk, mereka menggasak apapun harta yang ada di dalam rumah.
Sayang Pakwo Cokro waktu itu tidak giliran ronda. Maling-maling itu sukses menggarong rumah Pak Dukuh, dan kabur dengan aman. Kabarnya emas batangan milik Pak Dukuh raib ikut di gasak.

Aku dirumah Kang Gino siang itu.
merencanakan sesuatu tentu saja. Yah, kami tergoda mencicipi batang manis yang sudah siap panen di pesawahan sebelah timur  dekat rumah kang Gino.
Harus berhati-hati saat mau “mengambil’ tebu. Di saat tebu sudah tua seperti saat ini, mandor tebu jadi rajin meronda. Berkeliling naik sepedha ontel, dengan kumisnya yang melintang.
beberapa waktu yang lalu aku, pangat dan domber pernah nyaris tertangkap.
Saat itu kami tidak dengan kang Gino.
kami mengambil tebu dari sisi utara, dengan tanpa perghitungan bahwa di sisi utara, tepatnya di depan rumah mbah dukun, ada dangau yang sering di pakai untuk melepas lelah para mandor.
Kami berindap dari situ.
Dua lonjor tebu sudah kami babat dan siap dibawa keluar terbon.
Saat kami keluar itulah, dari arah rumah mbah dukun muncul mandor Kardi.
Wajahnya memerah melihat tiga bocah ingusan mendodosi tebu yang dijaganya.
Suara lantang berbareng ayunan parang membuat kami terbirit-birit.
Untung kami lebih lincah dan belum teracun nikotin.
Mandor Kardi yang ngerokoknya mirip cerobong asap itu menyerah saat mengejar kami.
Hanya bisa misuh-misuh sambil menahan langkah yang tersengal.
Aku, Pangat dan Domber kalang kabut lari.
Lalu bersembunyi di bawah langgar kakekku yang memang berbentuk panggung.
Kami menyelinap dibawahnya. Sampai merasa aman.
Sejak itu kami kapok lombok.. tidak berani nyolong tebu.

Baru hari ini aku bersama kang Gino ke ladang tebu.
Rupanya sudah masa panen. Di jalan sudah dipasang rel-rel yang akan dilewati lori pengangkut tebu.
Terbon mulai di babat tepat di tengah. Karena ladangnya luas, untuk sampai ke tengah dibuatkan jalan darurat. Untuk memudahkan mengangkut tebu.
Setelah itu, tebu dikumpulkan diatas lori yang memanjang.
Banyak warga yang menjadi  pekerja dadakan. Diantaranya adalah pemilik lahan yang selama ini disewa untuk ditanami tebu.
Aku dan kang Gino kali ini tidak takut-takut lagi.
Saat panen seperti ini, kami di bebaskan mengambil tebu.
Aku suka mengambil dongklak tebu, yaitu tebu paling ujung dekat akar.
Kadang  tebu ditebas terlalu keatas, dan menyisakan batang yang masih lumayan panjang, sampai di akar. Itu ros tebu yang paling manis.

Saat mendekat ke ladang tebu, tiba-tiba mataku melihat dua orang besar sedang berdiri di depan.
Salah satunya adalah.. mandor yang beberapa waktu lalu mengejarku dengan Pangat dan Domber. Langkahku terhenti saat melihat kilat matanya. Kaki ini sudah siap-siap berbalik arah.
Di samping mandor ada lelaki lain yang kukenal. Ia dalah Kang Tubi, Preman kampung yang cukup sohor.
“Eh.. Kowe.. Putune mbah kyai to?” seru kang Tubi saat melihatku.
 Aku mengurungkan niat untuk lari.
Tiba-tiba kang Tubi masuk kearah terbon, sebelumnya tangannya merebut parang di tangan mandor tebu yang diam saja.

Mandor itu mengalihkan perhatiannya kearahku. Lalu berjalan menjauh.
Aku masih diam. Kang Gino yang seakan tak mmeperhatikanku sudah meloncat pula kedalam terbon. Mendekati orang-orang yang merembang  tebu.
Tak lama kang Tubi muncul dengan 4 lonjor tebu besar-besar. Lalu mengangsurkannya kearahku..
“Nyohh le, tak jupukne.. Ndang digowo bali kono!” kata kang Tubi ringan.
Aku menerima tebu pemberian Kang Tubi. Mataku masih sempat melihat kearah mandor yang berdiri di kejauhan. Kilat matanya masih sama. Tapi dia tak bereaksi apa-apa. Mungkin segan dengan kang Tubi.
Tanpa memikirkan kang Gino, aku pulang ke rumah. Tak perlu susah payah di tanganku sudah ada tebu manis, pemberian kang Tubi.

Dari halaman belakang rumah, sambil mengunyah tebu, kulihat Lori yang sudah penuh bergerak pelan. Seperti ular raksasa ia menuju jalan utama, lalu ke arah kota. Mungkin ke arah pabrik gula Maduksimo, nun jauh di sana.
***
Tiba-tiba kakek sudah dihadapanku. Ditangannya tergenggam sapu yang dibuat dari sabut kelapa. 
Sabut itu dipukul-pukul kakek dengan palu yang terbuat dari kayu jati. 
“Le, golekno batu batere. Arep tak nggo nyengkelit sapu” pinta kakek kepadaku. 
“Nggih mbah” jawabku. aku tak pernah bisa membantah kakekku ini. 
Tadi dibawah langgar kulihat dua batu batere bekas radio yang sepertinya dibuang oleh bapak.
Kuangsurkan dua batere bekas itu kepada kakek. 
Lalu oleh kakek batere itu dikelupas diambil kulit luarnya yang berupa logam. 
Logam itu yang dipakai sebagai gagang sapu. 
Lalu garannya menggunakan kayu yang diserut halus. 
Dilakukan sendiri pula oleh kakek.
Memang kreatif kakekku.

Aku kembali asik mengamati lori dari kejauhan, sambil tak henti-henti mulut ini menyesap manisnya tebu.




keterangan:
Singup: Pengap
Terbon: Kebun tebu
Rembang: Panen tebu
Garan: Gagang

Depok 2013


Sunday, February 23, 2014

Saving Grace



Tali itu bercahaya keperakan.
Terjulur dari langit yang gelap.
Yang harus aku lakukan adalah meraihnya dalam satu ayunan
Satu kali kesempatan saja. Tak ada kesempatan kedua.

Setelah menahan nafas beberapa detik, aku mengerahkan segenap tenagaku,
dan “huppp”
Sebuah lompatan dengan sepenuh hati...
Tali itu berhasil kuraih lalu kubenamkan tepat di ubun-ubun kepalaku.
 Setelah itu peganganku pada tali itu kulepas.
Aku bergelantungan ditali itu yang sudah menancap dikepala.
Perasaan tak terkira menyelimuti hatiku.
Nyaman yang sangat nyamannn.

Sampai kemudian satu sepakan membangunkanku.
“bangun!! Sudah pagi hoeyy!”
Pemilik toko rupanya. Aku terlelap di emperan toko di pinggir jalan.
Pagi sudah menjadi milik para pedagang itu, yang berlomba membuka toko dimana nasib perut hari ini dipertaruhkan.
Semakin pagi semakin bagus untuk datangnya rezeki.

Matahari pagi menerpa mataku yang belum siap beradaptasi. Kupejamkan sejenak, baru kubuka Pelan-pelan.
Kemudian beranjak bangun sambil menenteng buntalanku.
Kulihat sekilas wajah masam sang pemilik toko mengiringi kepergianku.
Sepertinya hatinya lega, gelandangan yang terkapar di depan tokonya sudah pergi.
Tertatih aku menjauh dari toko itu.
Tak ada rasa benci atas perlakuan pemilik toko yang mengusirku semena-mena.
Aku hanya seperti melihat cermin masa laluku.
Aku tak lebih buruk dari pemilik toko itu. Bahkan lebih kejam.
Aku tersenyum kalau mengingatnya.
Sambil berjalan, kurasakan perutku berontak minta di isi.
Berkeruyuk seperti ribuan ayam jantan berbarengan berkokok.
Aku berhenti sejenak.
Sudah tak terasa sakit dari kelaparan yang menderaku lebih dari seminggu ini.
Tak pernah kumasukkan nasi atau roti dan zat-zat padat lainnya. Hanya terkadang air.
Itupun aku tak selalu menenggaknya.
Langkahku terasa berat.
Bisa jadi tubuh ini lemah. Ya.. Wadagku sudah di titik lelah. Aku terlampau memaksanya untuk tidak menerima asupan.

Ku cari tempat untuk sekedar duduk atau bersandar.
Pertokoan ini terlalu panjang dan padat. Semua berlomba menaruh dagangan di depannya. Tak ada sela untuk duduk. Sepertinya aku sudah tidak kuat..
Tubuhku rubuh tepat di depan restoran cepat saji.
Beberapa orang menghambur mendekatiku.
Tetapi mereka tidak berani menyentuhku. Hanya merubung.
Siapa yang mau menyentuh gelandangan kotor sepertiku.
Aku telentang menatap  langit. Kepalaku terasa basah.
Sepertinya terluka.
Darah mengucur dari bagian belakang kepalaku.
Kurasakan dingin, tetapi nyaman.
Semakin banyak saja orang mengerubungiku.
Meski tetap tidak ada yang berani menyentuh.
Beberapa diantaranya berteriak,
 “lapor polisi.. Ada gelandangan mati!’
Padahal nafasku masih terasa di bulu hidung.

Pelahan, kurasakan di ubun-ubunku keluar tali yang bercahaya, kemudian tali itu menjalar keatas.
Cepat sekali seperti cahaya. Kurasakan hentakan dan aku terayun. Terangkat tinggi-tinggi.
Dari ketinggian kulihat dibawah, jasadku.
Masih dikerubungi orang-orang.
Belum ada yang berinisiatif menolong atau sekedar meminggirkan tubuhku dari trotoar.
Ah, siapa peduli dengan gelandangan yang mati di pinggir jalan.

Sampai kemudian sebuah ambulan reot menghampiriku, lalu dengan sigap orang-orang berpakaian putih itu melemparkan jasadku ke dalamnya.

@seblat
depok 23-02-2014

sementara masih bingung mau di kasih judul apa, karena nulisnya sambil ndengerin the cranberries “saving grace” aku pinjam dulu judul lagunya untuk judul cerpen ini :)

Friday, January 10, 2014

Hanya Ayah Yang Mengerti!


Hujan tak juga berhenti.
Kuhamburkan langkah berniat keluar kamar, tentu saja harus membuka pintu terlebih dahulu.
Ternyata pintu terkunci. Sepertinya dikunci dari luar.
Pasti oleh ibu.

Tapi kan, ada jendela.
Meski posisinya agak ke atas, tapi aku tak kurang akal.
Segera kususun meja kecilku ditambah beberapa buku, lalu mobil-mobilan besar kutaruh terbalik. “yupp”.
Aku mampu  meraih gorden, tinggal satu tindak, aku melompat.
“ahaaa” teriakku..
Aku nangkring di kusen jendela.
Selompatan aku sudah di halaman samping rumah.
Hujan masih deras,  dan itu membuatku kegirangan.

Lalu aku berlarian kesana kemari.
Mencipratkan air ke kiri ke kanan.  Baju-baju di jemuran belepotan lumpur, tentunya membuat aku senang.  baju putih milik ibu kulumuri dengan tanah liat, menjadi coklat. lalu aku menggambari baju ayahku, dengan lelehan lumpur membentuk binatang..
Asikkk sekali.

Tiba-tiba ibu muncul.
Mukanya terlihat marah. tanpa ba bi bu aku ditamparnya keras-keras “Pakk!!”
laluu ditendang “bluggg!!”,
sampai terjengkang.
Tentu saja aku nangis.

“Ariiiii!!!! liat apa yang kau perbuattt!! Masyaallah!! Haduhhh!”

Ibuku menggerung marah.
Diambilnya cucian yang baru saja kulukis dengan lumpur, lalu dimasukkan ke ember.
Aku masih kesakitan.
Yah, tendangan ibu cukup bertenaga.

 Tidak lama berselang, tanganku ditarik ibu keras-keras.
Aku kesakitan dan berteriak histeris. Tetapi ibu tak mau peduli.
Diseret aku ke kamar mandi. Lalu diguyuri dengan air dingin. Setelah itu baju dan celanaku dilepas, lalu diguyuri lagi. sabun cair ditumpahkan ke tubuhku, lalu diusapkan dengan kasar. Ibuku rupanya geram sekali.

Setelah sabun, giliran shampo diguyurkan di kepalaku. Diusap lagi tak kalah kerasnya. Setelah rata lalu air diguyur lagi. Sampai tubuhku bersih. terakhir, handuk kering diusap merata di seluruh tubuh dan rambutku sampai kering. tak lupa bedak yang sebenarnya  tak kusuka,  ditaburkan ke seluruh tubuh.
Baru baju kering di pakaikan ke tubuhku, disusul celana.
Setelah itu aku dikurung lagi di kamar. Kali ini ibuku tak mau lengah. Semua meja kecil, buku dan mobil-mobilanku diringkasnya, dibawa keluar.
Tak lupa jendela ditutupnya rapat-rapat..
Aku terjebak kali ini. Seperti cerita tentang tikus yang nakal. terjebak di dalam kurungan setelah gagal mengambil makanan.
Cerita tentang tikus sering dibacakan ayah saat malam menjelang aku tidur.
 “apes deh” bathinku sambil merebahkan diri.
Capek sekali tubuh ini.
Semoga ayah cepat pulang. hanya ayah yang mau tahu perasaanku. hanya ayah yang bisa kuajak bicara. hanya ayah yang tak menyiksaku. memukuliku. berteriak-teriak pun tak pernah. . Sudah lama ayah tidak pulang.
Tak lama aku terlelap

Di dalam tidur, ayah menghampiriku.
Wajahnya cerah berbaju putih, dan... Bersayap.
Seperti biasanya dia memberi perintah kepadaku.
Tanganku disuruhnya untuk dilipat, wajah ditegakkan, juga tatapan mataku.
Lalu diajarkan huruf-huruf yang awalnya susah ku eja.
Lama-lama akhirnya aku bisa. juga angka-angka kesukaanku.
Yang selalu harus kutulis sampai angka sembilanpuluh sembilan.
Sebelum sampai angka itu kalau ada yang menghentikan pasti aku akan marah.
Ayah sangat paham apa yang kuinginkan.
Tetapi tidak dengan ibu dan kawan-kawanku. 
Mereka suka tak sabaran.

Diajarkan pula cara membersihkan kotoran di sela-sela kaki saat aku buang air besar.
Juga saat pipis. Diajari aku membasuk kelaminku sampai bersih. Perintah ayah mudah sekali aku ikuti. Beda dengan ibu, yang lebih suka melakukan dengan caranya.
Aku hanya di suruh diam dan menuruti apa yang dilakukannya.

Setelah belajar, aku diajaknya berlarian ditaman yang bercahaya.
Asik sekali.
Kami main sampai puas...
Sambil tertawa-tawa...


#

Perempuan itu menekuri  buku berisi catatan-catatan yang ditulis dengan tangan.
Matanya tampak berurai air mata.
Ya, catatan yang dibuat suami tercintanya.
Suami yang dua bulan  lalu meinggal dunia setelah berjuang melawan penyakitnya.
Penyakit jantung yang di deritanya sejak masih mahasiswa.
Suami yang selama ini tekun menuntun Ari Mahendra, anak mereka satu-satunya. 
Suami yang sangat sabar memperlakukan “keistimewaan” anaknya, yang di vonis menyandang autis.

Catatan itu ia temukan di antara tumpukan baju suaminya di dalam lemari.
Baju yang kemudian ia cuci untuk kemudian akan diberikan kepada kang Acep, Tukang kebun yang membantu  bersih-bersih halaman rumahnya yang luas.
Catatan lengkap, bagaimana memperlakukan anak mereka.
Dari cara mengajak  mandi, sampai berkomunikasi  dengan cara  sederhana dan mudah dimengerti.
Catatan tentang terapi wicara yang selama ini dilakukan di sekolah ataupun dengan guru privat.
Juga terapi gerak yang disitu ditulis dengan nama okupasi.

pernah ia dengar terapi-terapi itu diceritakan suaminya, tetapi ia tak begitu perhatian. pekerjaan selau jadi alasanya. sebagai manager operasional sebuah perusahaan internasional, telah menyita hari-harinya. toh gaji besar yang ia terima bisa dipakai untuk membayar sekolah Ari yang lumayan mahal.

Diakuinya, ia memang tak sabar kala Yudi, nama suaminya itu menjelaskan apa saja yang harus dan tidak di lakukan ke Ari. Ia memasrahkan pendidikan Ari, dari mengantar sekolah sampai memandikan ke suami tercintanya. yang selama inipun sabar melayani kemanjaannya. sejak pacaran malah.
Asti yang ngambekan ini begitu telaten diladeni oleh Yudi.
Kekanak-kanakannya selalu mampu ditaklukkan oleh Yudi.
Itu yang membuatnya  mantap menikahi lelaki yang membuahinya lalu melahirkan Ari, anak mereka.

Lelaki yang terrnyata mendahuluinya.
Catatan itu sangat berarti buat Asti.
 Catatan yang mengoreksi kesalahan-kesalahan yang  dua bulan ini ia lakukan kepada  Ari anak yang dicintainya.
Catatan itu seperti dewa penolong  yang menyelamatkannya dari  keputus- asaan menghadapi  perilaku Ari .
Meski catatan itu pula yang membuat hatinya seperti diperas.
Rasa kangen amat sangat mengerubuti hatinya.
Membuat hatinya terasa kelu, tubuhnya terasa berat untuk digerakkan.
Capek sekali rasanya.

Sampai kemudian iapun terlelap, dikursi bersandar meja.
Sambil memeluk buku catatan suaminya.


Depok 9 Januari 2014

Friday, January 3, 2014

Taman Bercahaya

Yang aku ingat saat itu siang cukup terik.
Matahari seperti memanggang kepala.
Jalanan agak lengang, lalu aku menyebrang.
Dari kejauhan sebenarnya sudah kulihat motor itu, entah berapa kecepatannya.
“Brukk!!!”  kurasakan tubuhku didorongnya dengan keras.
Aku melayanggg…  lalu semua gelap.

Saat  tersadar,  dengan mata yang belum bisa melihat dengan sempurna.
Kulayangkan pandang ke sekelilingku.
“Tempat apa ini?” bathinku.
Tempat di sekelilingku terlihat bercahaya.
Meski  benderang tetapi  tidak membuat  mataku silau.
Warna-warni di semua tempat.
Saat kulihat tubuhku, tak ada cedera sekalipun.
padahal, dalam ingatanku…
Aku tertabrak motor yang melaju kencang tadi. “Hmmm”
Segera aku bangun.
Tak terasa sakit di kakiku, lalu kuayun langkah, meski tak tahu akan kemana.

Udara terasa nyaman.
Langit hitam dipenuhi cahaya banyak sekali.
Cahaya yang bergerak cepat kesana-kemari.
Ajaib!!

Jalan yang kutapak terlihat bercahaya.
Bekas tapak kaki pun memercikkan warna-warni. Indah sekali.
Perdu di sekitar jalan juga terlihat mengeluarkan cahaya. Sebuah taman yang ajaib.

“Dimanakah ini?” bathinku. “Surgakah?”

Kulangkahkan kaki menuju taman di depan.
Taman penuh cahaya. Ada kursi dan ayunan yang bercahaya.
Juga cahaya yang terlihat melayang terbang kesana-kemari membuat taman benar-benar indah.
Kuraba kursi panjang di taman yang terlihat bercahaya itu, lalu aku duduk.
Mataku tertumbuk pada pohon di seberang tempatku  duduk.

Ada buah yang juga bercahaya merimbun.
Aku belum pernah melihat jenis buahnya.
Buah-buahan itu tak hanya satu warna, tetapi ada tiga warna berpendaran. Indah sekali.
Tak mungkin buah seperti itu bisa ku temui di kebun milik pak haji di dekat rumah atau di pasar dimana aku sering belanja menemani ibu.
Tak berapa lama, kulihat ada sosok mendekat ke arah pohon.
Sosok itu memakai pakaian orange yang memancarkan cahaya hijau muda. Terlihat kontras dan indah. Aku tak bisa melihat wajahnya karena jarak yang cukup jauh.
Kulihat sosok itu mengambil buah dari pohon itu dan memakannya dengan lahap.

perutku tiba-tiba keroncongan, lalu naluriku mendorong kaki ini mendekat kearah sosok itu.
dalam jarak kira-kira empat meter baru aku bisa melihat jelas sosok itu. 
Seorang perempuan yang sudah berumur dengan wajah yang masih terlihat cantik. 
Awalnya ia terkejut melihat kehadiranku, tetapi kemudian tersenyum.
Aku ragu-ragu untuk mendekat, tetapi perempuan itu melambaikan tangannya.
Seperti ada kekuatan tak kasat aku terdesak mendekat ke arah perempuan itu.
Setelah dekat, kepalaku diusapnya.

“Kamu tak boleh lama-lama disini” kata perempuan itu.

Aku hanya diam.
Kalau boleh memilih aku lebih suka disini.
Indah sekali tempatnya. Dalam hati aku ingin membantah.
Ajaib, sepertinya  perempuan itu tahu isi hatiku.

”Kamu harus pulang” lembut suara perempuan itu kembali terdengar di telingaku.

tangan kirinya terlihat masih memegang buah yang terlihat tinggal  setengah.
melihat aku yang menatap buah di tangannya, perempuan itu berkata”kamu lapar ya?”
aku mengangguk malu.

“itu buah apa nek?” aku asal memanggil perempuan itu nenek, karena memang terlihat sudah berumur.
Wajahnya seperti tak asing dimataku.

“ini adalah buah yang tumbuh dari doa” kata si nenek

“Dari doa?” tanyaku

“Iya, dari doa anak cucuku yang sedarah denganku. Termasuk doamu “kata si nenek sambil memandang buah kemerahan di tangannya. 

Kemudian ia berkata lagi, ” buah yang berwarna kebiruan itu.
Itu buah yg tumbuh dari ilmu yang diamalkan. Saat aku masih di dunia dulu, aku tak segan berbagi ilmu. Karena itu sampai sekarang, selama ilmu itu masih diamalkan, ia akan menjelma buah berwarna biru itu.

“Lalu buah yang berwarna kuning itu darimana nek?” aku mulai berani bertanya, tanpa takut seperti tadi.

“Itu buah dari harta yang di sedekahkan saat di dunia. Amal jariyah akan menjelma buah berwarna kuning itu,” jawab nenek.

kali ini aku berani menatap agak lama ke wakah perempuan itu.
Wajahnya mirip ayah, terutama hidung dan tirus wajahnya.
Ya, ayah selama ini mengajarkanku doa-doa.
Doa yang terkirim buat semua leluhur yang dianggap sedarah. Karena menurut keyakinan ayah, doa kita akan sampai ke seluruh saudara asalkan sedarah.

Jadi ini hasilnya.
Doa itu menjelma buah-buahan di pohon yang tumbuh di taman cahaya.
Lalu buah itu menjadi makanan para penghuninya. Juga ilmu yang diamalkan, dan harta yang di sedekahkan. “Hmmm…”

“kamu harus pulang, le?” kali ini suara perempuan itu terdengar tegas.
Tangannya tiba-tiba diletakkan di kepalaku, lalu aku seperti  jatuh melayang.
Di bawah kulihat tubuhku rebah di pinggir jalan, dikerumuni banyak orang.
Aku jatuh tepat diatas tubuhku sendiri.
Lalu semua gelap.

#
Saat tersadar aku masih dalam kerumunan.
Mataku kali ini silau oleh matahari yang terik menyengat diatas kepalaku.
Lalu aku mencoba berdiri,  dengan kepala yang terasa berdenyut.
Beberapa orang membantu aku bangun. Orang-orang berteriak saat tahu aku tersadar.
Sepontan ada yang menyodorkan minuman kepadaku.
Tetapi aku menolak. Hari ini aku puasa.
Lalu kuperhatikan sekujur tubuhku.
Tak ada luka yang parah.
hanya kepalaku yang terasa sangat pusing.
Juga darah yang terasa dingin di bagian belakang kepala.

Beberapa orang membujukku untuk dibawa ke rumah sakit.
Tetapi aku tidak mau.

Aku ingin segera pulang untuk  bertemu ayah.
Menceritakan pengalamanku barusan.

#
Kampung Sawah heboh,
Seorang anak SD mendadak bisa menyembuhkan segala penyakit.
Orang menyebutnya “Tabib Tiban”.


depok 2013
postingan ulang, pernah di posting di kompasiana