blog yg lain

Friday, July 26, 2013

Pertarungan Terakhir



Pukulan itu kembali terayun.
”Blughh!!”
Tepat di ulu hatiku…
Cairan kental muntah dari mulutku.
Belum lagi aku luruh. Sebuah tendangan melontarkanku keatas disusul tonjokan yang membanting tubuhku ke samping.

”Bruggg!!”

Aku berdebam keras.
Mulutku menghantam lantai.
Asin terasa di bibirku yang rengkah.

Aku tak bisa menghindari pertarungan ini.
Karma  yang harus ku genapi.
Takdir yang harus ku hadapi.

Segera kubersiap.
Yang harus kulakukan adalah merangkak bangun lalu kembali pasang kuda-kuda.
Tetapi aku kalah cepat.
Diinjaknya punggungku sambil mengayunkan pukulan bertubi ke belakang kepalaku. Kali ini aku tak diam.
Liat kucoba melempar tubuh kesamping.
Pukulan berhasil kuhindari. Tetapi kakinya justru mendapatkan sasaran empuk.
Perutku diinjaknya keras-keras.
”Wuekkkkkk!! Crottttt!!”
Sekali lagi mulutku memuntahkan gumpalan-gumpalan cair agak pekat.
Mataku sudah kabur.
Tetapi masih ada sisa-sisa kesadaran.
Aku harus melawan.
Kalah menang urusan belakang.
Rupanya mahkluk itu sedikit berbelas kasihan padaku. Dihentikan hajarannya.

Itu memberiku kesempatan untuk mengatur nafas, sambil menyeka darah dari mulut yang sudah tak jelas bentuknya ini.
Kupaksa bangkit dengan melompat, dan berhasil.
meski tindak kakiku masih limbung. Harus mengayun tangan kiri kanan agar seimbang.
Samar kutatap wajahnya.. diantara darah yang nyiprat masuk mataku.. Kutatap wajah itu.. Wajah makhluk yang tanpa ba-bi-bu menghajarku…
Kulihat wajah itu… 
Adalah wajahku sendiri..
Ah.
Meski terkejut, aku mencoba tenang.
“Jangan cengeng dan mengasihani diri sendiri!!” katanya sambil terkekeh… 
Mirip tokoh-tokoh jahat dalam sinetron misteri.

Kulihat makhluk berujud diriku itu memegang tali di tangannya.
Aku siaga. Segala kemungkinan bisa terjadi.
Tiba-tiba ia melompat, cepat sekali.
Aku mencoba menghindar, tetapi limbung.
Tangannya menyentakkan tali tepat di leherku.
Ku tahan dengan tanganku agar tak segera menjerat.
Lalu kami adu kuat. Kakinya meruntuhkan sisa kekuatanku, saat sebuah tendangan terayun tepat di ulu hati. “Duggh!!”
Aku menggelepar, saat tali itu sepenuhnya menjerat leherku. Oksigen terakhir kuhirup lahap.
Sampai kemudian sekejab semuanya gelap.


#
Saat kembali terang, aku seperti melayang.
kulihat diriku dibawah, tergantung di tiang.
Orang-orang berteriak, mereka kawan-kawan dekatku.
Mencoba memberi pertolongan.
Tali yang menjerat leher diputus, lalu jasadku dibawa ke sebuah ruangan, untuk coba diberikan pertolongan. Tetapi sepertinya semua sia-sia.
Aku sudah disini, di lorong penuh cahaya.
 Terbebas dari raga yang menyiksa itu.
Terbebas dari kejaran dan teror ke ‘aku”an yang membuatku jadi gila.



@seblat | depok | 2013

Wednesday, July 24, 2013

Lelaki yang Menggumam


Dua kali aku melihat lelaki itu.
Pertama kali, saat aku makan di warteg ujung jalan Pemuda. Keduanya hari ini.
Saat aku baru saja meletakkan pantat di bangku depan bengkel dimana aku biasa servis motor.
di bahunya “terselampir” dua buah kursi kayu model tinggi, sepertinya kursi multifungsi sekaligus tangga mini. Biasanya kulihat kursi itu di toko-toko kelontong atau toko sepatu yang sekarang rata-rata sudah “tewas” tergusur minimarket dan mall.

Dari mulutnya lamat ku dengar ia menggumam, “kursi...  Kursi..!”
suara yang kemudian tenggelam oleh riuhnya lalulintas Margonda.
Ia melafalkan  nada suara itu barangkali dari ujung Margonda sana.
Sampai kemudian melintas di depanku. sambil membawa dua  buah kursi.
Lalu, yang  kemudian terlintas di benakku adalah, efektifkah caranya itu?
Ia menawarkan dagangan sambil berjalan acuh.
Suaranyapun tak jelas ditujukan kepada siapa…
Saat berjalanpun,  kelihatan ada di pinggir jalan raya. Tidak di trotoar, jadi kemungkinan orang mendengar apa yang dikatakan juga sangat tipis.
Apalagi suaranya yang datar itu di “adu” dengan raungan kenalpot kendaraan yang ramai menyesaki margonda.
Ekpresi wajahnya juga... Kulihat datar.
Tak ada ekpresi penuh gairah layaknya orang menawarkan produk yang harus laku.
Ekpresi kegairahan seorang marketing kaki lima yang selama ini sering kujumpai di pasar-pasar, semisal pedagang obat atau alat elektronik, tak kulihat  dari caranya..
Lakukah dagangannya?
Belum lagi beban dua kursi itu lumayan berat.
Barangkali Tuhan punya mekanisme pembagian rejeki buat semua orang, termasuk lelaki itu.
Buktinya  ia masih berjualan dengan caranya.
Tentunya ia melakukan itu bukan hari ini dan kemarin saja.
Bisa jadi sudah bertahun-tahun
Tetapi,  tetap aneh saja menurutku.
Juga, sangat tidak efektif..
Ah.. Lelaki itu  sudah hilang dari pandanganku.
Ternyata meski kelihatan lambat, lesat juga langkahnya.
Atau mungkin aku yang kelamaan melamun.
Jangan-jangan  sudah sampai di depan warteg  tempatku makan kemarin di jalan Pemuda sana.. 
Pastinya, masih sambil menggumam…” Kursi..Kursii!! “
@seblat

Wednesday, July 17, 2013

JOMBLO





Sebuah pertemuan, 
yang sebenarnya tidak disukai oleh lelaki itu. 
Di senja yang tiris oleh hujan, di sebuah kafe yang lindap. 
Tepi malam terasa atis, dan ia akan bertemu dengan perempuan itu. 
Bahkan ia tak bisa berharap kehangatan lagi dari perempuan itu, meski hanya sepagut cium, atau peluk hangat.
Sebenarnya ia sudah menolak dengan halus, tetapi nada suara perempuan di dalam telepon, memaksanya. 
“Aku kangen.” katanya manja..
Dengan suara yang masih  seperti waktu lalu. Tiga tahun silam. Suara yang menyihir kesadarannya, lalu huyung dalam ngungun kepanjangan.

Yah,
Perempuan itu datang dari masa lalunya. 
Perempuan yang pernah membuatnya nyalang dalam dendam. 
Perempuan yang memompakan semangat untuk meruntuhkan segala dalih. 
Segala keinginan yang dimasa lampau tak bisa ia berikan. Perempuan yang mengajarkan rasa sakit yang amat sangat. Saat kemudian  perempuan itu memilih berlalu dari hidupnya. 
Hidup yang sudah direka berdua, yang dengan enteng dilantakkan. Merobohkan  pengharapan akan kehidupan yang pernah mereka rencanakan  berdua.  Semua itu karena kehadiran sosok lain yang mampu memberi lebih. 
Memberi kehidupan di masa depan yang tak bakal sesulit kalau dilewati dengan dirinya. 

Hidup kemudian bergulir menjadi upaya pembuktian.
 Menjadi fragmen muram yang ia rajut dengan nafas dendam.
Dengan satu tujuan. Sebuah pembuktian.
 Ia bisa lebih dari lelaki pilihan sang perempuan tersebut. 
Juga pilihan orang tua si perempuan yang pernah menatap sinis padanya.
Dendam menjadi penyulut lelaki tersebut. 
Dendam, membuat ia kesetanan. mengerahkan segala daya kreatifitasnya. 
Segala kemampuan yang pernah ia dapat dari kampus ataupun guru yang bernama kehidupan. 
Yang terangkum dari pengembaraannya selama ini.
Sampai kemudian ia menemukan “garis putih” yang menjadi pilihan hidupnya kini. Menjadi pedestrian hidup yang saat ini telah menampakkan hasil.
Malam ini sebenarnya ia bisa pongah. 
Menunjukkan segala yang telah ia dapat. 
Menunjukkan tepat dimuka perempuan yang pernah menghinakannya. 
Perempuan yang mencabik dan meruntuhkan balok-balok nasib yang ia susun susah payah.

Jam menunjuk angka delapan malam.
Perempuan itu belum muncul juga. 
Empat batang rokok berserak di asbak, dua gelas kopi hitam tandas. 
Sampai kemudian perempuan itu meneleponnya. 
Mengabarkan ia terjebak hujan yang turun di sekitar kantornya.
Memohon ia untuk mau menunggu.

laki-laki itu termangu.
 Lalu menyapukan pandangan di remang kafe yang sedang memamerkan  lukisan abstrak.
”hmm.. Kenapa aku jadi bodoh seperti ini? Kenapa aku masih mau menunggu dia? “
Laki-laki itu bergumam pelan.
Memang, ia bisa pongah. Bisa menunjukkan keberhasilannya. 
Tetapi untuk apa? Untuk menghinakan? Untuk membuat perempuan itu tersayat? Untuk membuat perempuan itu menyesali pilihannya? 
“Naif!!” Umpatnya dalam hati..
setelah ia bisa menunjukkan dan membuat perempuan itu menyesal, lalu apa yang didapat? kepuasan?..Kebanggaan?! 
“Tolol aku!” umpatnya dalam hati.
Laki-laki itu bergerak dari duduknya, kemudian keluar dari kafe setelah menyisipkan uang disela gelas minuman. Beranjak meninggalkan pertemuan yang dirancang oleh mantan kekasihnya. Beranjak dari arena pamer keberhasilan yang akan ia gelar. 
Terbayang dalam benaknya segala upaya yang telah ia lakukan.
 Itu semua berawal dari dendam.
 Dari kesumat yang “diciptakan” oleh perempuan itu.
Seharusnya ia justru harus berterimakasih dengan perempuan itu. 
Tanpa dia, takkan dijalaninya hidup dengan bara api. 
Dengan semangat yang membuat larik-larik waktunya berlari dengan cepat dan menggeliat penuh semangat.
Yah.. Hidupnya yang dinamis. 
Segala tantangan disambutnya dengan nafsu dan semangat meluap-luap.. 
Itu semua karena semangat pembuktian..
Dan baranya adalah... “Dewi cinta” yang mematahkan sayapnya..
Ia tersenyum sendiri menyadari kebodohannya.
Kemudian berlalu. Memanggil taksi yang membawanya menuju sebuah rumah kecil di tepi sungai Ciliwung..

#
Ia menemuiku..
Untuk menceritakan semuanya. 
Berteman empat  botol bir dan sebotol vodka tentu saja.
Sambil tertawa-tawa.. 
Mentertawai diri sendiri..
Cerita kami terhenti sejenak, saat sebuah SMS masuk. “Zal, rudi ketempatmu tidak? Kami janji ketemuan, tapi dia tak sabar menungguku” 
Sang “Dewi Cinta” itu menanyakan arjunanya yg teler berat di depanku.
“Dewi cinta yang membuat Rudi, sobat kentalku ini memilih jomblo sampai saat ini. 
Sang “Dewi Cinta” yang sudah tiga bulan ini berselingkuh denganku. 
Menduakan suaminya yang kaya raya, tetapi alpa pulang kerumahnya.


@seblat| Tepi Ciliwung


Tuesday, July 16, 2013

Cinta Belum Berakhir



Wajah itu seperti kukenal.
Dalam batas jarak pandangku, kulihat ia di seberang jalan.
Berdiri di halte yang terletak persis di seberang apartemen. Dengan baju yang tak asing di ingatanku. Sayang hujan lebat menghambatku untuk berusaha mendekatinya.
Kuyakinkan sekali lagi pengelihatanku.
Tetapi sosok itu telah hilang.

Kedua kalinya kulihat perempuan  itu. Tampak duduk di dalam kafe langgananku. Saat itu aku akan keluar meninggalkan kafe.  Kulihat di selasar depan, di kursi pojok kiri. Tempat yang sering kupilih untuk menyendiri saat memang sedang ingin sendiri. Perempuan  itu tampak menempatinya. Kami sempat bertatapan  sejenak. Kuyakinkan bahwa ia memang perempuan yang pernah begitu istimewa, bersemayam di hatiku.
Tetapi, lagi-lagi, rasa sakit ini membawa kakiku menjauh.
Menggiring langkah bergerak cepat.
Saat kutengok ke belakang setelah aku sampai di bibir jalan.
Lagi-lagi.. Sosok itu menghilang.
Kulirik jam, sudah diangka 2.04 WIB. Mana mungkin anak itu keluar jam segini. Setahuku, ia dulu suka kelayapan sampai pagi ya hanya denganku.
Ah, sudah lah, sebuah taksi melintas dan tanganku spontan melambai. Tahu-tahu aku didalamnya dan melesat menuju pinggiran Jakarta menuju tempat tinggalku.
Pertemuan ketiga. Kali ini aku menemui perempuan  itu di bandara, saat akan terbang menuju Surabaya. Tepatnya di restoran cepat saji yang lagi-lagi adalah… tempat dimana dulu aku pernah menunggu dia.
Saat aku dengan sekantung donat. Menunggu pesawat yang ditumpanginya,  yang ternyata terlambat datang.
Di deretan depan kursi keperakan itu. Dengan mulut yang tak berhenti mengunyah karena menahan tegang yang amat sangat. Kegelisahan laki-laki yang takut gadisnya mengalami celaka.
Ia sekarang terpekur disitu. Lagi-lagi, perasaan sakit ini yang menahan kakiku mendekatinya.
Aku menghambur cepat meninggalkan sosoknya sambil menyeret bawaanku yang lumayan berat. Pesawat segera berangkat.
Dalam perjalanan didalam taksi dari Juanda menuju Surabaya kota, baru terpikir olehku, ada yang aneh dalam setiap perjumpaanku dengannya. 
Perempuan  itu menampakkan diri di tempat-tempat dimana aku dulu pernah mempunyai kenangan dengannya. Baik kenangan pahit ataupun manis. Kuingat-ingat. Pertama kali ia menampakkan diri di depan apartemen adalah tempat dimana kami dulu pernah bertengkar hebat. Halte depan apartemen dan hujan yang mengguyur hebat. Hmm.. sebuah kebetulan yang ajaib. Saat di kafe itupun. di tempat biasa aku menenggelamkan diri. Ia datang di suatu malam. Menemuiku menyampaikan kabar itu. Kabar yang melantakkan semuanya. 
Kemudian terakhir, di bandara.
rasa penasaran ini membuatku merogoh saku jaket. mengeluarkan HP dan memencet nomer seluler. Suara “tut..tut...”  menandakan HP tidak aktif. Kuingat, nomor lain yang bisa kuhubungi. Ya.. nomer rumahnya. tetapi…. Ah, kusingkirkan rasa ragu dihati, yang sempat meruyak dari kemarin.
Yang selalu menahan langkahku menemuinya.
Bukan kaki ini yang malas menemuinya. Tetapi sepertinya hati ini yang masih terasa seperti disayat.
Kupencet nomor rumahnya.. Nada mengisyaratkan tersambung, kemudian ada yang mengangkat telepon. “Assalamualaikum!” Sapaku sopan. “Waalaikum salam…” suara lembut di seberang. sebertinya suara bunda. 
“Saya Rizal bu” aku menguluk diri. Tak kudengar jawaban dari seberang telpon. Diam… Lumayan lama, sepi mengepung percakapan yang coba kubangun. Kemudian, terdengar tarikan nafas dalam disusul suara isak… Isak tangis tertahan. “Nak Rizal sudah tahu kalau Nita meninggal?”

Aku tercekat…
Kakiku mendadak lemas...


@seblat

Monday, July 15, 2013

Cerita Lelaki




Enam botol bir itu sudah tandas isinya.
Mata kami tak juga meredup, justru tambah liar.
Temaram lampu menyamarkan wajah gadis-gadis itu.
Lekuk tubuh mereka saja yang menari-nari di mata ini.
Bondan sudah “naik” sepertinya. Dengan sigap direngkuhnya gadis langganannya itu.
“aku naik dulu ya..”
katanya sambil cengengesan, meninggalkan kami.

Tejo meneruskan menyanyi.
Suara cemprang tak masalah, orang mabuk gini.
Bir datang lagi, empat botol. Ditenteng Sari, Purel Langganan Tejo yang lumayan montok dengan body “renaissance” nya.
Suasana berubah menjadi klasik.
Seperti kembali ke abad pertengahan.
Sari mendekap Tejo yang seperti kesurupan nyanyinya.
Keduanya berciuman dengan ganas.
Aku seperti melihat Monalisa mencumbu Basquiat.
Lelaki dengan rambut gimbal bercumbu dengan gadis montok berambut lurus. Bercumbu dalam irama musik metal… Mellow Total khas band-band indonesia terkini.
Aku menyambar mike, meneruskan nyanyi.
Tentunya tetap dengan suara tak karu-karuan.
Dan.. Bir…
Tambah lagi...
Tambah lagi… Lagi…
Lupa sudah wajah anak dan istri. Ingatan tentang pernikahan. Juga anak-anak di rumah yang menunggu ayahnya pulang.
Lelaki, selalu punya pembenaran untuk semua yang dilakukan. 
Toh, kami tak pernah menggadaikan cinta.
Hanya pemenuhan syahwat.
Seperti saat lapar, kami makan. Saat haus kami minum.
Syahwat pun demikian, saat butuh membuang sperma, di belilah lubang pembuangan itu. 
Istri?
 Waduh.. ia terlalu agung untuk sekedar sebagai alat buang hajat.
Juga saat suntuk di tengah pekerjaan yang seperti menyeruduk.
Membanting dan menguras tenaga. 
Kami butuh pelampiasan.
Dan teriak-teriak seperti ini tak mungkin dilakukan dirumah. 
Harus jaim di mata anak-anak.
Karena kami adalah bapak teladan di mata mereka.
Kami harus terlihat tegas tapi lembut dan hangat. 
Ah.. sudah lah..
kami sedang menikmati kemerdekaan curi-curi ini.
Kebetulan juga, uang yang kami hamburkan adalah uang haram.
Uang panas yang tak jelas asalnya, yang tak baik kalau kami bagi dengan anak dan istri.
Jadi… reguk lagii.
Pagut lagi….
Sampai pagi…
Sampai keringat susut, dan kami membersihkan diri.

Memakai minyak wangi lagi.
Sehingga istri tak curiga dan anak mau memeluk ayahnya. 
Menyambutnya bak pahlawan yang pulang kecapean karena lembur menyelesaikan pekerjaan.

@seblat | November 2008

Dongeng kematian




Tujuh langkah terakhir dari orang-orang yang mengantar kematiannya masih terdengar. 
Juga Isak keluarga dekatnya, saat jasadnya ditimbun tanah. 

Sampai kemudian semua mendadak berubah, Tanah sempit itu mendadak melebar. Kemudian dari dalam tanah muncul tembok yang menyekat membentuk bangunan rumah. Diujung ruangan secara ajaib muncul seperangkat meja kursi dengan makanan yang terhidang diatasnya. tempat ia ditidurkan pun sekarang berubah menjadi ranjang empuk yang nyaman.
Inikah alam kuburnya? Inikah balasan Tuhan atas apa yang ia perbuat selama ini?

Saat kesadarannya belum sempurna, lamat ia dengar suara tangis. 
Rupanya penghuni bangunan disampingnya. Dilongoknya dari jendela rumah, bangunan tempatnya tinggal saat ini. Seseorang tampak meringkuk di pojokan. 
Disapanya orang itu, “Kenapa kok nangis?” Orang itu melongokkan wajahnya. terlihat karut. “aku lapar.. tapi makanan yang muncul selalu basi, tak bisa kumakan..” Ratapnya sedih. Merasa iba, diambilnya jatah makanannya unutk diberikan ke orang itu. Tetapi ajaib, Ia tidak bisa memasuki wilayah orang itu. Seperti ada sekat tak terlihat yang menahan langkahnya.
“Sudah 10 Tahun aku disini..makananku selalu basi” orang itu terbata-bata menceritakan nasibnya.

matanya berkaca-kaca. 
Saat itu tiba-tiba, ruangan nya yang tadi agak redup perlahan mulai terang benderang.
Sementara ruangan tetangganya yang selalu dapat makanan basi itu menggelap. kemudian menyempit.. Menghimpit sang penghuninya yang tak bisa berbuat apa-apa..Hanya berteriak pilu.

Tak kuasa ia melihat pemandangan itu. kemudian kakinya melangkah keluar. Seperti ada yang menggerakkan, kakinya berjalan ke arah samping kanan. disitu ada bangunan besar dengan taman yang indah. dilihatnya sang penghuni sedang duduk di tengah taman.
Wajahnya berseri-seri. Pohon buah beraneka jenis tumbuh dan merunduk seolah meminta untuk dipetik dengan buah-buah yang segar. betapa bahagia orang itu. makanan lezatpun melimpah di mejanya. 
Hatinya bergetar gembira melihat pemandangan itu. meski tak semewah rumah orang itu. Rumahnya sekarang juga terlihat bagus, walau lebih sederhana.
Kemudian ia melangkah lagi. di seberang jalan ia melihat pemandangan yang memilukan. Seseorang tampak terhimpit tanah. matanya melotot dengan urat menguar dimuka dan lehernya. 
Tak ada keluhan yang muncul dari mulutnya, karena mulutnya tampak terbuka dengan lidah menjulur. 
Sepertinya rasa sakit tak bisa digambarkan lagi..
Terbata ia bergegas…. 
Lari tanpa melihat arah.. 
Pontang-panting kaki berlari. 

Di perjalanan macam-macam hal dilihatnya.
 Orang-rang yang menerima balasan atas apa yang diperbuatnya selama hidup. 
Ada yang terlihat gembira. 
Ada yang tersiksa tiada tara.
Sampai akhirnya ia tiba rumahnya sendiri. 
Kemudian ia masuk kedalam rumahnya. 
Hatinya masih tercekat dengan semua pemandangan yang dlihat barusan. 
Tiba-tiba ia teringat anaknya. Ingin sekali ia menceritakan apa saja yang dilihatnya.
Seandainya ia bisa hidup lagi. 
kembali ke kehidupan dunia. 
Komat-kamit mulutnya membaca doa.
Agar bisa hidup lagi. 
Bertemu anaknya. 
Menceritakan semuanya.
Semuanya..

Setelah tiga hari berdoa, keinginannya rupanya dikabulkan. 
Atap rumahnya tiba-tiba terbuka. Reruntuhan tanah mengenai wajahnya. Ia menggerakkan tubuhnya yang kembali terbungkus kafan. 
Dilihatnya wajah anak terkasihnya terperanjat. 
“emak hidup lagi.. emak hidup lagii!!” teriak anaknya, diiringi wajah-wajah tegang dan terperangah dari orang-orang yang membantu membongkar makamnya.
Akhirnya ia kembali kerumahnya. 
Di rumah, anaknya bercerita, kalau semenjak emaknya di kubur. empat hari setelah itu ia bermimpi emaknya meminta ia untuk membongkar kubur. Karena penasaran dengan mimpinya akhirnya ia bongkar. 
Ternyata benar. emaknya hidup lagi.
Orang-orang kampung berkumpul di rumahnya, termasuk sang Buya yang terhormat. 
Tuan Guru yang selama ini menjadi pemuka agama di kampungnya.
Mereka duduk melingkar. Siap untuk mendengakan ceritanya selama empat hari menghuni alam kubur.

Akupun turut mendengar cerita itu, meski cuma dari mulut kakakku, yang juga mendapatkan cerita dari teman kerjanya, yang kebetulan satu kampung dengan nenek itu.
Nenek yang merasakan kehidupan kedua.
Kemudian kutulis cerita itu, untuk kubagi disini


@seblat | Depok | Desember 2009


Wednesday, July 10, 2013

Prenjak di pohon kapuk

Tahun 1983

Bulan Puasa sudah memasuki sepuluh hari terakhir,
Aku belum bolong sekalipun. Hebat kan...
Di sisa sepuluh hari ini, aku meniatkan jangan sampai puasaku batal. Meski panas kemarau memanggang kepala saat membantu ibu menjemur gabah, bakal nasi.
Ibuku menjemur gabah hasil panennya sendiri. Tentu saja dibantu aku dan kakakku.
Di halaman rumah joglo kakek kami itulah, kami bersibahu menjemur padi. Setelah bulir-bulai gabah itu sebelumnya di “gebug” dengan bongkot pelepah kelapa. Biasanya kang Basuki, tetangga depan rumah yang membantu ibu. Tenaganya besar sekali.
Setelah gabah kering, ibu sering menumbuknya sendiri di lesung samping rumah d bawah pohon jeruk.
Suaranya nyaring “blug.. blug.. blug’... beras yang dihasilkanpun lebih enak daripada beras hasil gilingan mesin. Lebih wangi. Memakan beras hasil olahan ibu, cukup dengan ikan  teri dan sambel tomat, dijamin enak sekali.

Lebaran kali ini, aku tidak ke kota, ke rumah bapak.
Kabarnya bapak dan kakak-kakakku yang akan ke Nglembu.

Mereka akan menjadi serombongan orang kota yang tampak pongah berkeliling kebun kakek. Memetik buah-buahan, atua mancing ikan di tebat belakang rumah.
Memancing ikan mujaher yang susah payah kupelihara.

Tetapi tidak apa-apa. Rumah jadi ramai kalau ada mereka.
Sepi menghilang. Rumah juga benderang karena ayah menyalakan lampu petromaks di ruang tengah.
Biasanya kami hanya memakai teplok yang nyalanya kemerahan temaram.
Kalau lampu pompa yang kami menyebut mereknya “petromaks” menyala, giranglah hati. Ruangan kami terang benderang. Jadi bisa sigap lelumpatan bermain jethungan didalam rumah dengan Pangat dan Domber. Meski tak bisa lama karena dimarahi ibu.

Hari ini aku menunggu mereka,
Gerombolan orang kota itu.
Prenjak dari pagi sudah nyaring berbunyi. Seakan mengabarkan bakal ada tamu.
Ibu bilang, kalau prenjak berbunyi berarti tamu akan datang.
Susahnya prenjak kadang tak terprediksi. Ia sering berada di posisi yang membingungkan. Seperti hari ini. Ia berkicau di pohon kapuk yang posisinya pas di batas pagar rumahku dan rumah pakde Kabdi, tetangga sebelah rumah. Jadi, tamu siapa yang akan datang? Tamu Pakde Kabdi, atau tamu rumahku?

Ah biarlah, yang penting ada harapan. Dan harapan selalu menumbuhkan semangat. Puasa jadi terasa lebih singkat. Tahu-tahu saja sudah sore.

Prenjak hari ini kurang tepat sepertinya.
Tidak ada tamu seorangpun berkunjung ke rumahku sampai mahgrib.
Tentu saja kecewa, tetapi tidak apa.
Malam ini aku akan taraweh di masjid kampung di selatan sana. Dekat jalan utama.
Tentu bersama Pangat dan Domber.

Taraweh di kampung kami sungguh memanjakan anak-anak. Saat selesai solat 20 rakaat plus 3 raka'at witir yang tentu saja menyita tenaga, anak-anak akan mendapatkan penganan yang disebut “jaburan”
Jaburan favorit kami adalah nasi gurih dengan suwiran daging  ayam dan kacang tholo yang ditempatkan di daun pisang yang kami sebut takir.
Nasi takir inilah yang ditunggu-tunggu anak-anak. Tetapi, kalau sudah kelihatan kardus berisi roti.. sontak kami akan bergumam “aaaa” pertanda kecewa. Bahkan, saking fanatiknya dengan nasi takir, kang Sartono menggambarnya dengan pinsil di tembok jerambah masjid. Gambar takir lengkap dengan tulisan “Takir wasiat,” entah apa maksudnya. Tetapi saat membaca itu, kami akan terbahak-bahak tertawa.

Yah, ritual ibadah seperti puasa, juga lebaran sejatinya adalah milik kami, para anak-anak.
Kamilah yang sepenuhnya menikmati.
Seperti aku yang selalu setia menunggu prenjak nyaring di depan rumah.
Berharap keluargaku dari kota datang. Membawakan baju lebaran, atau sekaleng besar  biskuit Khong Guan. Aku sudah bosan makan tape ketan  dan rengginang.

Seperti hari ini, ibu menyarankan aku dan Mahmud kakakku menunggu di batas desa dekat jalan raya. Prenjak yang berbunyi sangat meyakinkan sekali. Tepat di atas teritis rumah di dahan kapuk yang menjuntai.
Lalu aku berlari-lari kecil berendengan dengan Mahmud kakakku. Menuju perempatan Paker, Jalan Parangtritis.  Melewati pematang sawah kalen tengah. Kalen dimana aku dan Mamuk, panggilan akrab kakakku, sering mandi dan mencari ikan.

Panas yang terik menggoda aku dan kakakku untuk terlebih dahulu mandi di kali dengan dam kecil yang menahan  air sehingga menjadi agak dalam. Bahkan bisa menenggelamkanku. 

Tak lama datang seorang kawan,  Mustofa namanya
Ia adalah  anak takmir masjid yang masih saudaraku.
Kami lalu mandi bersama. Bercanda sampai lupa waktu. Tak terasa sudah ashar. Mustofa buru-buru pulang karena harus berjamaah di masjid.
Aku dan Mamuk balik ke rumah. Lupa rencana awal menunggu sodara-sodara yang akan datang.

Saat sampai halaman, kulihat banyak sendal dan sepatu berjajar.. 
Sontak hati ini gembira, saat melihat salah satu sandal itu milik bapakku.
Berarti mereka sudah datangggg...

Kali ini burung Prenjak bisa dipercaya kicauannya 


@seblat | ledok ciliwung | depok | 2012

Monday, July 8, 2013

ajari aku cinta

Kita berjalan pada waktu yang lelah.
Sangat lelah.

Cinta begitu membebani hati ini. 

Juga pengharapan yang rasa-rasanya semu.
pengharapan akan peluk hangat. Juga rindu pekat, yang menenangkan hati ini.
Kerinduan akan sapa lembutmu.
Di telinga ini.
Tak perlu kau ucap cinta.
Meski aku berharap kamu ajari aku cinta.
Bukan nafsu yang sudah banyak diliarkan oleh orang-orang yang menganggapku hanya segumpal daging buat dinikmati.
Disesap-sesap, meski hanya lewat tatapan liar mereka dibalik kamera.

 Ingin aku mendengar, bahwa adamu untuk  menjagaku.
Bukan malah membuatku sengkarut seperti sekarang ini.

Bahkan kau tak pernah tahan menatapku tiga detik saja.
Selalu kau lempar pandangmu ke  cakrawala.
Atau tunduk sampai tanah seakan lesak di tatapmu.
Sementara mulutmu bisu.
Meski tetap ada yang berisik menggangguku.
Menyuarakan macam hal yang terlalu berisik.
Beberapa kali kuminta kau menenangkan suara-suara itu.
Kau tak bergeming.
Hanya diam di belakangku.
Menjadi bayang-bayangku.

Tak berusaha menolongku agar terbebas dari suara-suara yang awalnya kukira suara malaikat itu.
Meski kau tak pernah pergi.
Selalu ada di dekatku.
Selalu di sekitarku.
Selalu tak lepas dari diri ini.
Bahkan di saat intim sekalipun.
Saat aku bercumbu dengan laki-laki yang memelas memohon inginkan kehangatanku.
Kau ada dan... 

“Arggggghh!!!”

Jangan sampai aku harus berlari darimu....
Jangan sampai kuakhiri hidup ini...
Jangan sampai...
Ah. “masa bodoh!!”
Aku berteriak lalu menghambur dari kamar.

Kuambil kunci mobil di atas meja rias. Lalu bersegera keluar rumah.
Pintu kubanting keras-keras demi meluapkan amarahku.
Segera aku masuk mobil yang terparkir di  teras,
lalu memacunya.

Jalanan masih remang-remang. Masih gelap malahan.
Tetapi aku tak peduli.
kularikan cepat mobil di jalanan yang lengang.

Tetapi suara-suara itu tiba-tiba muncul, sementara kamu hilang.
Kamu lenyap dari sekitarku. mungkin karena gelap,
tak ada sinar yang bisa menampakkan bayang-bayang.

Padahal aku butuh kamu agar mengusir suara-suara itu.
Yang tak Cuma berisik, tetapi juga mulai menggerayangi tubuhku.
Sedangkan aku sedang menyetir. Mengemudikan mobil entah kemana.
Aku sendiri tak tahu tujuanku.
Yang penting keluar rumah. 

Lari darimu yang justru mendadak lenyap.
Kini aku digerayangi suara-suara itu. Menarik-narik bajuku.
Seakan ingin melepaskannya.
Dan memang sepertinya begitu.
Suara itu smakin kurang ajar.
Sekujur tubuhku digerayanginya. Bajuku dilucutinya.
Sedangkan tangan ini harus konsentrasi mengemudi.
Suara itu sangat bertenaga,
tanganku tak kuasa menahan tarikannya.
Satu persatu baju, celanaku dilucutinya. 

Tinggal celana dan kutang yang menempel  ditubuhku. 
Suara itu masih saja menggerayangi tubuhku.
Payudara, paha dan kelaminku.
Semua digerayanginya.
Aku tak tahann.. aku tak bisa konsentrasi.
Apalagi di depan, jalan menikung.. 

Lalu...  “brukkkk”
Mobilku membentur entah apa di depan...

Aku terkapar.. 

Gelap!
#

Media ramai memberitakan, seorang gadis cantik tanpa busana menabrak beberapa orang dan kendaraan yang terparkir. Sepertinya gadis itu depresi, atau terlalu banyak mengkonsumsi obat-obatan



(depok 8-7-2013)

(judulnya meminjam judul lagunya Maudy Ayunda "ajari aku cinta'
Nulis cerita ini juga sambil dengerin lagunya Maudy )