blog yg lain

Friday, January 10, 2014

Hanya Ayah Yang Mengerti!


Hujan tak juga berhenti.
Kuhamburkan langkah berniat keluar kamar, tentu saja harus membuka pintu terlebih dahulu.
Ternyata pintu terkunci. Sepertinya dikunci dari luar.
Pasti oleh ibu.

Tapi kan, ada jendela.
Meski posisinya agak ke atas, tapi aku tak kurang akal.
Segera kususun meja kecilku ditambah beberapa buku, lalu mobil-mobilan besar kutaruh terbalik. “yupp”.
Aku mampu  meraih gorden, tinggal satu tindak, aku melompat.
“ahaaa” teriakku..
Aku nangkring di kusen jendela.
Selompatan aku sudah di halaman samping rumah.
Hujan masih deras,  dan itu membuatku kegirangan.

Lalu aku berlarian kesana kemari.
Mencipratkan air ke kiri ke kanan.  Baju-baju di jemuran belepotan lumpur, tentunya membuat aku senang.  baju putih milik ibu kulumuri dengan tanah liat, menjadi coklat. lalu aku menggambari baju ayahku, dengan lelehan lumpur membentuk binatang..
Asikkk sekali.

Tiba-tiba ibu muncul.
Mukanya terlihat marah. tanpa ba bi bu aku ditamparnya keras-keras “Pakk!!”
laluu ditendang “bluggg!!”,
sampai terjengkang.
Tentu saja aku nangis.

“Ariiiii!!!! liat apa yang kau perbuattt!! Masyaallah!! Haduhhh!”

Ibuku menggerung marah.
Diambilnya cucian yang baru saja kulukis dengan lumpur, lalu dimasukkan ke ember.
Aku masih kesakitan.
Yah, tendangan ibu cukup bertenaga.

 Tidak lama berselang, tanganku ditarik ibu keras-keras.
Aku kesakitan dan berteriak histeris. Tetapi ibu tak mau peduli.
Diseret aku ke kamar mandi. Lalu diguyuri dengan air dingin. Setelah itu baju dan celanaku dilepas, lalu diguyuri lagi. sabun cair ditumpahkan ke tubuhku, lalu diusapkan dengan kasar. Ibuku rupanya geram sekali.

Setelah sabun, giliran shampo diguyurkan di kepalaku. Diusap lagi tak kalah kerasnya. Setelah rata lalu air diguyur lagi. Sampai tubuhku bersih. terakhir, handuk kering diusap merata di seluruh tubuh dan rambutku sampai kering. tak lupa bedak yang sebenarnya  tak kusuka,  ditaburkan ke seluruh tubuh.
Baru baju kering di pakaikan ke tubuhku, disusul celana.
Setelah itu aku dikurung lagi di kamar. Kali ini ibuku tak mau lengah. Semua meja kecil, buku dan mobil-mobilanku diringkasnya, dibawa keluar.
Tak lupa jendela ditutupnya rapat-rapat..
Aku terjebak kali ini. Seperti cerita tentang tikus yang nakal. terjebak di dalam kurungan setelah gagal mengambil makanan.
Cerita tentang tikus sering dibacakan ayah saat malam menjelang aku tidur.
 “apes deh” bathinku sambil merebahkan diri.
Capek sekali tubuh ini.
Semoga ayah cepat pulang. hanya ayah yang mau tahu perasaanku. hanya ayah yang bisa kuajak bicara. hanya ayah yang tak menyiksaku. memukuliku. berteriak-teriak pun tak pernah. . Sudah lama ayah tidak pulang.
Tak lama aku terlelap

Di dalam tidur, ayah menghampiriku.
Wajahnya cerah berbaju putih, dan... Bersayap.
Seperti biasanya dia memberi perintah kepadaku.
Tanganku disuruhnya untuk dilipat, wajah ditegakkan, juga tatapan mataku.
Lalu diajarkan huruf-huruf yang awalnya susah ku eja.
Lama-lama akhirnya aku bisa. juga angka-angka kesukaanku.
Yang selalu harus kutulis sampai angka sembilanpuluh sembilan.
Sebelum sampai angka itu kalau ada yang menghentikan pasti aku akan marah.
Ayah sangat paham apa yang kuinginkan.
Tetapi tidak dengan ibu dan kawan-kawanku. 
Mereka suka tak sabaran.

Diajarkan pula cara membersihkan kotoran di sela-sela kaki saat aku buang air besar.
Juga saat pipis. Diajari aku membasuk kelaminku sampai bersih. Perintah ayah mudah sekali aku ikuti. Beda dengan ibu, yang lebih suka melakukan dengan caranya.
Aku hanya di suruh diam dan menuruti apa yang dilakukannya.

Setelah belajar, aku diajaknya berlarian ditaman yang bercahaya.
Asik sekali.
Kami main sampai puas...
Sambil tertawa-tawa...


#

Perempuan itu menekuri  buku berisi catatan-catatan yang ditulis dengan tangan.
Matanya tampak berurai air mata.
Ya, catatan yang dibuat suami tercintanya.
Suami yang dua bulan  lalu meinggal dunia setelah berjuang melawan penyakitnya.
Penyakit jantung yang di deritanya sejak masih mahasiswa.
Suami yang selama ini tekun menuntun Ari Mahendra, anak mereka satu-satunya. 
Suami yang sangat sabar memperlakukan “keistimewaan” anaknya, yang di vonis menyandang autis.

Catatan itu ia temukan di antara tumpukan baju suaminya di dalam lemari.
Baju yang kemudian ia cuci untuk kemudian akan diberikan kepada kang Acep, Tukang kebun yang membantu  bersih-bersih halaman rumahnya yang luas.
Catatan lengkap, bagaimana memperlakukan anak mereka.
Dari cara mengajak  mandi, sampai berkomunikasi  dengan cara  sederhana dan mudah dimengerti.
Catatan tentang terapi wicara yang selama ini dilakukan di sekolah ataupun dengan guru privat.
Juga terapi gerak yang disitu ditulis dengan nama okupasi.

pernah ia dengar terapi-terapi itu diceritakan suaminya, tetapi ia tak begitu perhatian. pekerjaan selau jadi alasanya. sebagai manager operasional sebuah perusahaan internasional, telah menyita hari-harinya. toh gaji besar yang ia terima bisa dipakai untuk membayar sekolah Ari yang lumayan mahal.

Diakuinya, ia memang tak sabar kala Yudi, nama suaminya itu menjelaskan apa saja yang harus dan tidak di lakukan ke Ari. Ia memasrahkan pendidikan Ari, dari mengantar sekolah sampai memandikan ke suami tercintanya. yang selama inipun sabar melayani kemanjaannya. sejak pacaran malah.
Asti yang ngambekan ini begitu telaten diladeni oleh Yudi.
Kekanak-kanakannya selalu mampu ditaklukkan oleh Yudi.
Itu yang membuatnya  mantap menikahi lelaki yang membuahinya lalu melahirkan Ari, anak mereka.

Lelaki yang terrnyata mendahuluinya.
Catatan itu sangat berarti buat Asti.
 Catatan yang mengoreksi kesalahan-kesalahan yang  dua bulan ini ia lakukan kepada  Ari anak yang dicintainya.
Catatan itu seperti dewa penolong  yang menyelamatkannya dari  keputus- asaan menghadapi  perilaku Ari .
Meski catatan itu pula yang membuat hatinya seperti diperas.
Rasa kangen amat sangat mengerubuti hatinya.
Membuat hatinya terasa kelu, tubuhnya terasa berat untuk digerakkan.
Capek sekali rasanya.

Sampai kemudian iapun terlelap, dikursi bersandar meja.
Sambil memeluk buku catatan suaminya.


Depok 9 Januari 2014

Friday, January 3, 2014

Taman Bercahaya

Yang aku ingat saat itu siang cukup terik.
Matahari seperti memanggang kepala.
Jalanan agak lengang, lalu aku menyebrang.
Dari kejauhan sebenarnya sudah kulihat motor itu, entah berapa kecepatannya.
“Brukk!!!”  kurasakan tubuhku didorongnya dengan keras.
Aku melayanggg…  lalu semua gelap.

Saat  tersadar,  dengan mata yang belum bisa melihat dengan sempurna.
Kulayangkan pandang ke sekelilingku.
“Tempat apa ini?” bathinku.
Tempat di sekelilingku terlihat bercahaya.
Meski  benderang tetapi  tidak membuat  mataku silau.
Warna-warni di semua tempat.
Saat kulihat tubuhku, tak ada cedera sekalipun.
padahal, dalam ingatanku…
Aku tertabrak motor yang melaju kencang tadi. “Hmmm”
Segera aku bangun.
Tak terasa sakit di kakiku, lalu kuayun langkah, meski tak tahu akan kemana.

Udara terasa nyaman.
Langit hitam dipenuhi cahaya banyak sekali.
Cahaya yang bergerak cepat kesana-kemari.
Ajaib!!

Jalan yang kutapak terlihat bercahaya.
Bekas tapak kaki pun memercikkan warna-warni. Indah sekali.
Perdu di sekitar jalan juga terlihat mengeluarkan cahaya. Sebuah taman yang ajaib.

“Dimanakah ini?” bathinku. “Surgakah?”

Kulangkahkan kaki menuju taman di depan.
Taman penuh cahaya. Ada kursi dan ayunan yang bercahaya.
Juga cahaya yang terlihat melayang terbang kesana-kemari membuat taman benar-benar indah.
Kuraba kursi panjang di taman yang terlihat bercahaya itu, lalu aku duduk.
Mataku tertumbuk pada pohon di seberang tempatku  duduk.

Ada buah yang juga bercahaya merimbun.
Aku belum pernah melihat jenis buahnya.
Buah-buahan itu tak hanya satu warna, tetapi ada tiga warna berpendaran. Indah sekali.
Tak mungkin buah seperti itu bisa ku temui di kebun milik pak haji di dekat rumah atau di pasar dimana aku sering belanja menemani ibu.
Tak berapa lama, kulihat ada sosok mendekat ke arah pohon.
Sosok itu memakai pakaian orange yang memancarkan cahaya hijau muda. Terlihat kontras dan indah. Aku tak bisa melihat wajahnya karena jarak yang cukup jauh.
Kulihat sosok itu mengambil buah dari pohon itu dan memakannya dengan lahap.

perutku tiba-tiba keroncongan, lalu naluriku mendorong kaki ini mendekat kearah sosok itu.
dalam jarak kira-kira empat meter baru aku bisa melihat jelas sosok itu. 
Seorang perempuan yang sudah berumur dengan wajah yang masih terlihat cantik. 
Awalnya ia terkejut melihat kehadiranku, tetapi kemudian tersenyum.
Aku ragu-ragu untuk mendekat, tetapi perempuan itu melambaikan tangannya.
Seperti ada kekuatan tak kasat aku terdesak mendekat ke arah perempuan itu.
Setelah dekat, kepalaku diusapnya.

“Kamu tak boleh lama-lama disini” kata perempuan itu.

Aku hanya diam.
Kalau boleh memilih aku lebih suka disini.
Indah sekali tempatnya. Dalam hati aku ingin membantah.
Ajaib, sepertinya  perempuan itu tahu isi hatiku.

”Kamu harus pulang” lembut suara perempuan itu kembali terdengar di telingaku.

tangan kirinya terlihat masih memegang buah yang terlihat tinggal  setengah.
melihat aku yang menatap buah di tangannya, perempuan itu berkata”kamu lapar ya?”
aku mengangguk malu.

“itu buah apa nek?” aku asal memanggil perempuan itu nenek, karena memang terlihat sudah berumur.
Wajahnya seperti tak asing dimataku.

“ini adalah buah yang tumbuh dari doa” kata si nenek

“Dari doa?” tanyaku

“Iya, dari doa anak cucuku yang sedarah denganku. Termasuk doamu “kata si nenek sambil memandang buah kemerahan di tangannya. 

Kemudian ia berkata lagi, ” buah yang berwarna kebiruan itu.
Itu buah yg tumbuh dari ilmu yang diamalkan. Saat aku masih di dunia dulu, aku tak segan berbagi ilmu. Karena itu sampai sekarang, selama ilmu itu masih diamalkan, ia akan menjelma buah berwarna biru itu.

“Lalu buah yang berwarna kuning itu darimana nek?” aku mulai berani bertanya, tanpa takut seperti tadi.

“Itu buah dari harta yang di sedekahkan saat di dunia. Amal jariyah akan menjelma buah berwarna kuning itu,” jawab nenek.

kali ini aku berani menatap agak lama ke wakah perempuan itu.
Wajahnya mirip ayah, terutama hidung dan tirus wajahnya.
Ya, ayah selama ini mengajarkanku doa-doa.
Doa yang terkirim buat semua leluhur yang dianggap sedarah. Karena menurut keyakinan ayah, doa kita akan sampai ke seluruh saudara asalkan sedarah.

Jadi ini hasilnya.
Doa itu menjelma buah-buahan di pohon yang tumbuh di taman cahaya.
Lalu buah itu menjadi makanan para penghuninya. Juga ilmu yang diamalkan, dan harta yang di sedekahkan. “Hmmm…”

“kamu harus pulang, le?” kali ini suara perempuan itu terdengar tegas.
Tangannya tiba-tiba diletakkan di kepalaku, lalu aku seperti  jatuh melayang.
Di bawah kulihat tubuhku rebah di pinggir jalan, dikerumuni banyak orang.
Aku jatuh tepat diatas tubuhku sendiri.
Lalu semua gelap.

#
Saat tersadar aku masih dalam kerumunan.
Mataku kali ini silau oleh matahari yang terik menyengat diatas kepalaku.
Lalu aku mencoba berdiri,  dengan kepala yang terasa berdenyut.
Beberapa orang membantu aku bangun. Orang-orang berteriak saat tahu aku tersadar.
Sepontan ada yang menyodorkan minuman kepadaku.
Tetapi aku menolak. Hari ini aku puasa.
Lalu kuperhatikan sekujur tubuhku.
Tak ada luka yang parah.
hanya kepalaku yang terasa sangat pusing.
Juga darah yang terasa dingin di bagian belakang kepala.

Beberapa orang membujukku untuk dibawa ke rumah sakit.
Tetapi aku tidak mau.

Aku ingin segera pulang untuk  bertemu ayah.
Menceritakan pengalamanku barusan.

#
Kampung Sawah heboh,
Seorang anak SD mendadak bisa menyembuhkan segala penyakit.
Orang menyebutnya “Tabib Tiban”.


depok 2013
postingan ulang, pernah di posting di kompasiana