Tali itu bercahaya
keperakan.
Terjulur dari langit yang
gelap.
Yang harus aku lakukan
adalah meraihnya dalam satu ayunan
Satu kali kesempatan
saja. Tak ada kesempatan kedua.
Setelah menahan nafas
beberapa detik, aku mengerahkan segenap tenagaku,
dan “huppp”
dan “huppp”
Sebuah lompatan dengan
sepenuh hati...
Tali itu berhasil kuraih
lalu kubenamkan tepat di ubun-ubun kepalaku.
Setelah itu peganganku pada tali itu kulepas.
Aku bergelantungan ditali
itu yang sudah menancap dikepala.
Perasaan tak terkira
menyelimuti hatiku.
Nyaman yang sangat
nyamannn.
Sampai kemudian satu
sepakan membangunkanku.
“bangun!! Sudah pagi
hoeyy!”
Pemilik toko rupanya. Aku
terlelap di emperan toko di pinggir jalan.
Pagi sudah menjadi milik
para pedagang itu, yang berlomba membuka toko dimana nasib perut hari ini
dipertaruhkan.
Semakin pagi semakin
bagus untuk datangnya rezeki.
Matahari pagi menerpa
mataku yang belum siap beradaptasi. Kupejamkan sejenak, baru kubuka Pelan-pelan.
Kemudian beranjak bangun
sambil menenteng buntalanku.
Kulihat sekilas wajah
masam sang pemilik toko mengiringi kepergianku.
Sepertinya hatinya lega,
gelandangan yang terkapar di depan tokonya sudah pergi.
Tertatih aku menjauh dari
toko itu.
Tak ada rasa benci atas
perlakuan pemilik toko yang mengusirku semena-mena.
Aku hanya seperti melihat
cermin masa laluku.
Aku tak lebih buruk dari
pemilik toko itu. Bahkan lebih kejam.
Aku tersenyum kalau
mengingatnya.
Sambil berjalan, kurasakan
perutku berontak minta di isi.
Berkeruyuk seperti ribuan
ayam jantan berbarengan berkokok.
Aku berhenti sejenak.
Sudah tak terasa sakit
dari kelaparan yang menderaku lebih dari seminggu ini.
Tak pernah kumasukkan
nasi atau roti dan zat-zat padat lainnya. Hanya terkadang air.
Itupun aku tak selalu
menenggaknya.
Langkahku terasa berat.
Bisa jadi tubuh ini
lemah. Ya.. Wadagku sudah di titik lelah. Aku terlampau memaksanya untuk tidak
menerima asupan.
Ku cari tempat untuk sekedar duduk atau bersandar.
Ku cari tempat untuk sekedar duduk atau bersandar.
Pertokoan ini terlalu
panjang dan padat. Semua berlomba menaruh dagangan di depannya. Tak ada sela
untuk duduk. Sepertinya aku sudah tidak kuat..
Tubuhku rubuh tepat di
depan restoran cepat saji.
Beberapa orang menghambur
mendekatiku.
Tetapi mereka tidak
berani menyentuhku. Hanya merubung.
Siapa yang mau menyentuh
gelandangan kotor sepertiku.
Aku telentang menatap langit. Kepalaku terasa basah.
Sepertinya terluka.
Darah mengucur dari bagian
belakang kepalaku.
Kurasakan dingin, tetapi
nyaman.
Semakin banyak saja orang
mengerubungiku.
Meski tetap tidak ada
yang berani menyentuh.
Beberapa diantaranya
berteriak,
“lapor polisi.. Ada gelandangan mati!’
Padahal nafasku masih
terasa di bulu hidung.
Pelahan, kurasakan di
ubun-ubunku keluar tali yang bercahaya, kemudian tali itu menjalar keatas.
Cepat sekali seperti
cahaya. Kurasakan hentakan dan aku terayun. Terangkat tinggi-tinggi.
Dari ketinggian kulihat dibawah, jasadku.
Masih dikerubungi
orang-orang.
Belum ada yang
berinisiatif menolong atau sekedar meminggirkan tubuhku dari trotoar.
Ah, siapa peduli dengan
gelandangan yang mati di pinggir jalan.
Sampai kemudian sebuah
ambulan reot menghampiriku, lalu dengan sigap orang-orang berpakaian putih itu
melemparkan jasadku ke dalamnya.
@seblat
depok 23-02-2014
sementara masih bingung mau di kasih judul apa, karena nulisnya sambil ndengerin the cranberries “saving grace” aku pinjam dulu judul lagunya untuk judul cerpen ini :)
depok 23-02-2014
sementara masih bingung mau di kasih judul apa, karena nulisnya sambil ndengerin the cranberries “saving grace” aku pinjam dulu judul lagunya untuk judul cerpen ini :)
No comments:
Post a Comment