blog yg lain

Sunday, February 23, 2014

Saving Grace



Tali itu bercahaya keperakan.
Terjulur dari langit yang gelap.
Yang harus aku lakukan adalah meraihnya dalam satu ayunan
Satu kali kesempatan saja. Tak ada kesempatan kedua.

Setelah menahan nafas beberapa detik, aku mengerahkan segenap tenagaku,
dan “huppp”
Sebuah lompatan dengan sepenuh hati...
Tali itu berhasil kuraih lalu kubenamkan tepat di ubun-ubun kepalaku.
 Setelah itu peganganku pada tali itu kulepas.
Aku bergelantungan ditali itu yang sudah menancap dikepala.
Perasaan tak terkira menyelimuti hatiku.
Nyaman yang sangat nyamannn.

Sampai kemudian satu sepakan membangunkanku.
“bangun!! Sudah pagi hoeyy!”
Pemilik toko rupanya. Aku terlelap di emperan toko di pinggir jalan.
Pagi sudah menjadi milik para pedagang itu, yang berlomba membuka toko dimana nasib perut hari ini dipertaruhkan.
Semakin pagi semakin bagus untuk datangnya rezeki.

Matahari pagi menerpa mataku yang belum siap beradaptasi. Kupejamkan sejenak, baru kubuka Pelan-pelan.
Kemudian beranjak bangun sambil menenteng buntalanku.
Kulihat sekilas wajah masam sang pemilik toko mengiringi kepergianku.
Sepertinya hatinya lega, gelandangan yang terkapar di depan tokonya sudah pergi.
Tertatih aku menjauh dari toko itu.
Tak ada rasa benci atas perlakuan pemilik toko yang mengusirku semena-mena.
Aku hanya seperti melihat cermin masa laluku.
Aku tak lebih buruk dari pemilik toko itu. Bahkan lebih kejam.
Aku tersenyum kalau mengingatnya.
Sambil berjalan, kurasakan perutku berontak minta di isi.
Berkeruyuk seperti ribuan ayam jantan berbarengan berkokok.
Aku berhenti sejenak.
Sudah tak terasa sakit dari kelaparan yang menderaku lebih dari seminggu ini.
Tak pernah kumasukkan nasi atau roti dan zat-zat padat lainnya. Hanya terkadang air.
Itupun aku tak selalu menenggaknya.
Langkahku terasa berat.
Bisa jadi tubuh ini lemah. Ya.. Wadagku sudah di titik lelah. Aku terlampau memaksanya untuk tidak menerima asupan.

Ku cari tempat untuk sekedar duduk atau bersandar.
Pertokoan ini terlalu panjang dan padat. Semua berlomba menaruh dagangan di depannya. Tak ada sela untuk duduk. Sepertinya aku sudah tidak kuat..
Tubuhku rubuh tepat di depan restoran cepat saji.
Beberapa orang menghambur mendekatiku.
Tetapi mereka tidak berani menyentuhku. Hanya merubung.
Siapa yang mau menyentuh gelandangan kotor sepertiku.
Aku telentang menatap  langit. Kepalaku terasa basah.
Sepertinya terluka.
Darah mengucur dari bagian belakang kepalaku.
Kurasakan dingin, tetapi nyaman.
Semakin banyak saja orang mengerubungiku.
Meski tetap tidak ada yang berani menyentuh.
Beberapa diantaranya berteriak,
 “lapor polisi.. Ada gelandangan mati!’
Padahal nafasku masih terasa di bulu hidung.

Pelahan, kurasakan di ubun-ubunku keluar tali yang bercahaya, kemudian tali itu menjalar keatas.
Cepat sekali seperti cahaya. Kurasakan hentakan dan aku terayun. Terangkat tinggi-tinggi.
Dari ketinggian kulihat dibawah, jasadku.
Masih dikerubungi orang-orang.
Belum ada yang berinisiatif menolong atau sekedar meminggirkan tubuhku dari trotoar.
Ah, siapa peduli dengan gelandangan yang mati di pinggir jalan.

Sampai kemudian sebuah ambulan reot menghampiriku, lalu dengan sigap orang-orang berpakaian putih itu melemparkan jasadku ke dalamnya.

@seblat
depok 23-02-2014

sementara masih bingung mau di kasih judul apa, karena nulisnya sambil ndengerin the cranberries “saving grace” aku pinjam dulu judul lagunya untuk judul cerpen ini :)

No comments:

Post a Comment