( Prolog dari novel LORI, membalik ingatan )
Ini adalah ceritaku,
Cerita dimana aku
harus merentang ingatan lagi. Saat aku kecil dengan segala kenangan
kanak-kanak.
Dengan segala
keterbatasan yang justru menjadi kekuatan untuk selalu bisa mengatasinya. Saat
hidup masih terasa sederhana tetapi mengasyikkan.
yang pasti, saat itu
aku belum menanggung beban seperti sekarang ini. Hidup masih tergantung orang
tua dengan segala kesederhanannnya. Sederhana tetapi lebih terasa mandiri dan
tak perlu pusing dengan remeh temeh di dunia terkini yang kalau dipikri-pikir
lama-lama menimbulkan keregantungan dan memusingkan. Misalkan soal listrik. Di
masa kecilku, listrik belum masuk desa. Kami anteng saja hidup dalam kegelapan.
Rekening listrik bukan masalah kami waktu itu. Juga dering alat komunikasi
seluler yang setiap saat minta di isi tenaganya.
Permainan pun bisa
kami dapatkan di sekitar rumah. Kulit jeruk bisa menjadi mobil sedan mewah.
Sabut kelapa bisa menjadi kapal tanker canggih. Pelepah pisang bisa menjadi
kuda nan gagah. Bahkan gedebog pisang bisa menjadi perahu cadik yang lincah
mengarungi kedung desa yang tak pernah surut airnya.
dan masih menyisakan
ingatan di otak yang sudah berkarat dan sarat beban ini. Otak yang sudah
tertimbuni bermacam masalah hidup yang setiap waktu semain pepat.
Th 1980, Kata bapak, aku harus ikut ibu.
Ya, Kakek dari ibu sekarang sendirian di Nglembu, desa kecil di ujung kabupaten Bantul. Setelah Lik Siti menikah, kakek praktis tidak ada yang menemani. Lik Bas juga sudah pindah ke kota Bantul.
Ya, Kakek dari ibu sekarang sendirian di Nglembu, desa kecil di ujung kabupaten Bantul. Setelah Lik Siti menikah, kakek praktis tidak ada yang menemani. Lik Bas juga sudah pindah ke kota Bantul.
Semua anak kakek yang berjumlah tujuh orang sudah mentas semua.
Terakhir kemarin Lik Siti disunting lelaki hasil perjodohan antar keluarga.
Ibu, sebagai anak perempuan tertua, akhirnya yang memilih mengalah, menemani kakek. Meninggalkan keluarga besarnya di Pujokusuman Jogjakarta, pindah ke Nglembu. Meninggalkan anak-anaknya yang mulai tumbuh dewasa.
Terakhir kemarin Lik Siti disunting lelaki hasil perjodohan antar keluarga.
Ibu, sebagai anak perempuan tertua, akhirnya yang memilih mengalah, menemani kakek. Meninggalkan keluarga besarnya di Pujokusuman Jogjakarta, pindah ke Nglembu. Meninggalkan anak-anaknya yang mulai tumbuh dewasa.
Aku sendiri masih enol
besar. Jadi nanti kalau ikut pindah aku akan masuk SD di Dusun Nglembu, Panjang
Rejo Pundong Bantul.
Lalu, mulailah hidupku di dusun kecil itu. Yang listrik belum masuk ke dalamnya.
Satu-satunya yang terang benderang saat malam hanya rumah diujung kampung, milik pak Margiyono.yang memiliki mesin diesel.
Lalu, mulailah hidupku di dusun kecil itu. Yang listrik belum masuk ke dalamnya.
Satu-satunya yang terang benderang saat malam hanya rumah diujung kampung, milik pak Margiyono.yang memiliki mesin diesel.
Saat malam minggu
pemilik rumah itu berbagi lampu untuk lapangan bulu tangkis. Aku suka ikut
nongkrong melihat bulu tangkis, skalian merasakan terangnya lampu listrik.
Sebelum akhirnya kembali lagi ke rumah joglo besar milik kakek yang temaram
diterangi lampu minyak.
Adaptasi kegelapan, itu yang pertama kali dilakukan.
Adaptasi kegelapan, itu yang pertama kali dilakukan.
Saat di kota Jogja,
kami sudah memasang listrik. Aku sudah terbiasa benderang saat malam. Lalu
ketika di Nglembu, mata ini harus beradaptasi saat malam harus mengulang
pelajaran sekolah.
Dibawah redup cahaya
lampu teplok, mengeja pelajaran membaca yang sesiang tadi diberikan di sekolah.
Tetapi gelap juga memberi keasyikan tersendiri.
Tetapi gelap juga memberi keasyikan tersendiri.
Kala malam aku suka
iseng dengan Dayat, kakakku membuat wayang-wayangan.
Berbekal kertas minyak
yang kami jadikan layar, kami memainkan figur-figur yang dibuat sendiri sesuai
imajinasi. Ada bentuk raksasa, ada bentuk pak lurah, ada orang-orang
kebanyakan. Lalu figur itu di potong sesuai gambarnya. Setelah itu, dengan
benang yang kami ikat di kaki meja, orang-orangan itu kami tempelkan. Setelah
sebelumnya di depan kaki meja kami pasang kertas minyak. Lalu terciptaah bayangan yang bergerak-gerak,
saling bicara, kadang bertengkar atau berceloteh lucu. Kami pun jadi punya
ruang untuk meledek pak Lurah, atau mandor tebu yang suka mengejar-ngejar kami.
Atau pak Wo Cokro yang galak itu dalam cerita bisa gantian kami marahi.
Sejenak menikmati
kemenangan yang kami ciptakan sendiri.
Asik sekali permainan
ini.
Awalnya hanya kami berdua,
lalu anak-anak tetangga mulai berdatangan.
Awalnya Pangat yang
tinggal pas di depan rumah., Kemudian Domber dan Jawadi kakak Domber pun bergabung.
Kalau bosan dengan
wayang, kami bermain “sereng”
Kami akan menguliti
jeruk bali, kemudian menekan kulit tersebut sehingga ada cairan yang kami sebut
sereng. Sereng itu mengandung minyak yang kalau kena api akan menyala.
Seakan-akan gas yang
membara keluar dari cerobong.
Saat cahaya bulan menguasai desa kami.
Anak-anak kecil
berkumpul di teras, lalu pindah ke kebun belakang.
Disana ada pohon
mangga besar. Di tempat itulah permainan jethungan di mulai.
Yang jadi
akan menutup matanya di pokok pohon. Lalu yang lan akan lari.. bayangkan
mencari lawan di kegelapan. Padahal kebun kakek lumayan luas.
Pernah aku curang.
Sembunyi di dalam rumah, lalu ketiduran. Esoknya aku di omelin anak-anak lain..
Kegelapan desa
akhirnya menjadi sahabatku. Sahabat kami.
Kegelapan yang awalnya
cukup menyiksa , lama-lama menjadi biasa.
Bahkan jadi terasa mengasikkan.
No comments:
Post a Comment