blog yg lain

Friday, October 24, 2014

Amir

Lelaki itu mengepalkan tangan ke atas.
Lagu Internasionale tergetar dari mulutnya. Disusul Indonesia Raya
Dieja dengan penuh semangat namun letih.
Udara terasa panas di kemarau yang terik itu.
Debu berterbangan membuat matanya perih.

Kereta yang menurunkan sepuluh orang itu  merayap pergi dengan asap mengepul dan tatapan mata beberapa tentara yang menyungging senyum sinis. “mati kau penghianat!” umpat salah satu diantara tentara itu, dengan tatapan jijik.

Sisa asap kereta menerpa wajah lelaki itu.
Wajah yang keras, namun lelah. Wajah yang memendam kekecewaan sangat dalam.
Kekecewaan yang menumpuk dari banyak peristiwa yang sudah dilewatinya selama menghela republik yang masih muda ini.

Republik yang masih terseok oleh banyak kepentingan. 
Republik yang diploklamirkan dengan lantang tapi tidak tuntas persiapannya. 
Republik yang masih menjadi rebutan para bekas penjajahnya.
Teringat betapa hampir seluruh masa mudanya habis untuk berjibaku dalam memperjuangkan republik.
Menemani presiden tampan itu mempersiapkan kemerdekaan dengan cara menelikung Jepang yang sedang sempoyongan.
Lau melegalkan negara yang masih muda dengan membuat partai yang akan menjadi legitimasi sebuah negara. Memeram ideologi yang simpang siur mencari celah untuk berkuasa, dari geromboan fundamentalis agama, sampai kapitalis yang ngiler melihat betapa kayanya Indonesia.

Ia sendiri didikan komunis. Yang pasti anti kapitalis. 
Meski harus berseteru dengan temannya se-ideoogi, macam Tan Malaka yang pernah berusaha menggulingkan posisinya sebagai pemangku pertahanan. 
Tapi ia justru berhasil memadamkan pemberontakan Tan Malaka dan kawan-kawannya di kelompok persatuan perjuangan.
Sebelumnya Tan malaka berhasil menculik Sahrir dan menggulingkannya dari posisi perdana menteri. 
27 juni 1946 Sahrir diculik di Surakarta.Laskar Persindo dan tentara perjuangan berhasi ia komando untuk membungkam Tan Malaka. Rebutan kuasa di sekitar Sukarno sangat sengit. Tan malaka mampu meyakinkan Sukarno bahwa Sahrir terlalu lembek menghadapi Belanda.

Tapi, Tan Malaka salah berhitung. Ia bukan orang sembarangan. 
Dengan cepat di ditempelnya sang presiden. Lalu keadaan segera dibalikkan. 
Sukarno berpaling padanya, sampai kemudian Tan Malaka dan kawan-kawan diadili. 
Meski tak dinyatakan bersalah, mereka tetap harus mendekam di penjara.

Leaki itu tersenyum pahit mengenang semuanya.
Kini ia menjadi anjing kurap yang tak berharga. 
Dibawah todongan senjata dan dipinggir kuburan yang sudah digali untuknya dan  sepuluh kawan se-ideologinya.
Ideologi yang selalu berbunga dan beraoma damai. 
Meski sejarah sealu berkata lain. Sejarah perjuangan adalah perebutan kekuasaan, yang itu berarti perang. Perang yang meruamkan darah dan mencerabut nyawa.

Kini giliran nyawanya siap menjadi tumbal revolusi.
Revolusi yang acap mengganyang anaknya sendiri

Ia yang dulu bahu membahu mengusir penjajah kini dijajah kawannya sendiri.
Atas nama perbedaan ideologi dan kepentingan kini nyawanya tinggal sejengkal.
Nyawanya terancam dicabut justru oleh orang sebangsa, bukan Belanda atau Jepang yang susah payah di usirnya.
Selain tentara, beberapa penduduk yang memegang cangkul menatap dirinya dengan jijik.
 “komunis anjing!” seru mereka.
“Penghianat negara!!” yang lain ikut berteriak geram.

Lubang tanah menganga di depannya. Di gali oleh orang-orang yang sejatinya ia perjuangkan agar merdeka.
Merdeka dari penjajahan asing dan kebodohan tentu saja.
Kini mereka yang siap menguburkannya seperti anjing kurap.
Tanpa kafan, apalagi upacara keagamaan.

Dipejamkan matanya, berkonsentrasi pada aliran darahnya, yang barangkali terpompa untuk terakhir kali.
 Ingatannya masih bersengkilat.
Masih berputar mengingat semuanya. Ingatan yang ingin ia matikan, seiring matinya raga yang sudah lemah ini.
Ya... sudah berhari-hari makanan menjadi barang langka.
Sebelum senjata di tangan tentara-tentara itu menyalak mencabut nyawanya, beserta sepuluh temannya. Sebelum orang-orang yang dulu diperjuangkannya itu mengubur jasadnya di dalam lobang besar, tanpa nisan tentu saja.

Ingin ia melepas semua egonya. Melepas ego manusiawinya yang lekat dengan keduniawian.
Seperti yang ia rasakan beberapa bulan terakhir.
saat ia bisa tertawa pahit. Betapa bodohnya ia yang dikuasai nafsu berkuasa, juga cita-cita menegakkan ideologi muluk yang ternyata hampa.
Lalu menjumpai kehampaan lain yang membuatnya  nyaman.
Sampai bisa memeram rasa sakit karena dihianati. Karena di hajar berkali oleh tentara yang duu adalah bawahannya.
Diingatnya doa-doa yang seperti menjadi cahaya.

Lirih di dengarnya suara nyanyian internasionale dinyanyikan rekannya. Sebelumnya iapun ikut menyanyikan.
Untuk meneguhkan semangat juang mungkin:
C'est la lutte finaleGroupons-nous, et demain
L'Internationale
Sera le genre humain
Inilah perjuangan penghabisan,
Mari kita berkumpul, maka besok,
Internasionale,
akan jadi ras manusia.

Sementara ia memilih bisu. Setelah ketenteraman itu berangsur menyusupi hati dan  jiwanya.
sampai kemudian senjata para serdadu itu menyalak, “dorrrrr”...Menghajar tubuhnya mengenai jantung. Juga tubuh kesepuluh temannya.
Tubuhnya tersungkur, rebah sehina-hinanya.
***
Orang-orang itu cekatan menimbun jasadnya.
Sampai tanah yang sebelumnya menggunung jadi rata.
Lalu meninggalkannya. Tanpa nisan atau sekedar tanda.
Diantara debu kemarau yang kering dan nestapa.