Lelaki itu
mengepalkan tangan ke atas.
Lagu Internasionale tergetar
dari mulutnya. Disusul Indonesia Raya
Dieja dengan
penuh semangat namun letih.
Udara terasa
panas di kemarau yang terik itu.
Debu berterbangan membuat matanya perih.
Debu berterbangan membuat matanya perih.
Kereta yang
menurunkan sepuluh orang itu merayap pergi
dengan asap mengepul dan tatapan mata beberapa tentara yang menyungging senyum
sinis. “mati kau penghianat!” umpat salah satu diantara tentara itu, dengan
tatapan jijik.
Sisa asap
kereta menerpa wajah lelaki itu.
Wajah yang
keras, namun lelah. Wajah yang memendam kekecewaan sangat dalam.
Kekecewaan yang
menumpuk dari banyak peristiwa yang sudah dilewatinya selama menghela republik
yang masih muda ini.
Republik yang
masih terseok oleh banyak kepentingan.
Republik yang diploklamirkan dengan lantang tapi tidak tuntas persiapannya.
Republik yang masih menjadi rebutan para bekas penjajahnya.
Republik yang diploklamirkan dengan lantang tapi tidak tuntas persiapannya.
Republik yang masih menjadi rebutan para bekas penjajahnya.
Teringat betapa
hampir seluruh masa mudanya habis untuk berjibaku dalam memperjuangkan republik.
Menemani presiden
tampan itu mempersiapkan kemerdekaan dengan cara menelikung Jepang yang sedang
sempoyongan.
Lau melegalkan
negara yang masih muda dengan membuat partai yang akan menjadi legitimasi
sebuah negara. Memeram ideologi yang simpang siur mencari celah untuk berkuasa,
dari geromboan fundamentalis agama, sampai kapitalis yang ngiler melihat betapa
kayanya Indonesia.
Ia sendiri
didikan komunis. Yang pasti anti kapitalis.
Meski harus berseteru dengan temannya se-ideoogi, macam Tan Malaka yang pernah berusaha menggulingkan posisinya sebagai pemangku pertahanan.
Tapi ia justru berhasil memadamkan pemberontakan Tan Malaka dan kawan-kawannya di kelompok persatuan perjuangan.
Sebelumnya Tan malaka berhasil menculik Sahrir dan menggulingkannya dari posisi perdana menteri.
Meski harus berseteru dengan temannya se-ideoogi, macam Tan Malaka yang pernah berusaha menggulingkan posisinya sebagai pemangku pertahanan.
Tapi ia justru berhasil memadamkan pemberontakan Tan Malaka dan kawan-kawannya di kelompok persatuan perjuangan.
Sebelumnya Tan malaka berhasil menculik Sahrir dan menggulingkannya dari posisi perdana menteri.
27 juni 1946 Sahrir diculik di Surakarta.Laskar Persindo dan tentara perjuangan berhasi ia komando untuk
membungkam Tan Malaka. Rebutan kuasa
di sekitar Sukarno sangat sengit. Tan malaka mampu meyakinkan Sukarno bahwa
Sahrir terlalu lembek menghadapi Belanda.
Tapi, Tan
Malaka salah berhitung. Ia bukan orang sembarangan.
Dengan cepat di ditempelnya sang presiden. Lalu keadaan segera dibalikkan.
Sukarno berpaling padanya, sampai kemudian Tan Malaka dan kawan-kawan diadili.
Meski tak dinyatakan bersalah, mereka tetap harus mendekam di penjara.
Dengan cepat di ditempelnya sang presiden. Lalu keadaan segera dibalikkan.
Sukarno berpaling padanya, sampai kemudian Tan Malaka dan kawan-kawan diadili.
Meski tak dinyatakan bersalah, mereka tetap harus mendekam di penjara.
Leaki itu
tersenyum pahit mengenang semuanya.
Kini ia
menjadi anjing kurap yang tak berharga.
Dibawah todongan senjata dan dipinggir kuburan yang sudah digali untuknya dan sepuluh kawan se-ideologinya.
Dibawah todongan senjata dan dipinggir kuburan yang sudah digali untuknya dan sepuluh kawan se-ideologinya.
Ideologi yang
selalu berbunga dan beraoma damai.
Meski sejarah sealu berkata lain. Sejarah perjuangan adalah perebutan kekuasaan, yang itu berarti perang. Perang yang meruamkan darah dan mencerabut nyawa.
Kini giliran nyawanya siap menjadi tumbal revolusi.
Revolusi yang acap mengganyang anaknya sendiri
Meski sejarah sealu berkata lain. Sejarah perjuangan adalah perebutan kekuasaan, yang itu berarti perang. Perang yang meruamkan darah dan mencerabut nyawa.
Kini giliran nyawanya siap menjadi tumbal revolusi.
Revolusi yang acap mengganyang anaknya sendiri
Ia yang dulu
bahu membahu mengusir penjajah kini dijajah kawannya sendiri.
Atas nama
perbedaan ideologi dan kepentingan kini nyawanya tinggal sejengkal.
Nyawanya terancam
dicabut justru oleh orang sebangsa, bukan Belanda atau Jepang yang susah payah
di usirnya.
Selain tentara,
beberapa penduduk yang memegang cangkul menatap dirinya dengan jijik.
“komunis anjing!” seru mereka.
“komunis anjing!” seru mereka.
“Penghianat
negara!!” yang lain ikut berteriak geram.
Lubang tanah menganga
di depannya. Di gali oleh orang-orang yang sejatinya ia perjuangkan agar
merdeka.
Merdeka dari penjajahan asing dan kebodohan tentu saja.
Merdeka dari penjajahan asing dan kebodohan tentu saja.
Kini mereka
yang siap menguburkannya seperti anjing kurap.
Tanpa kafan,
apalagi upacara keagamaan.
Dipejamkan matanya,
berkonsentrasi pada aliran darahnya, yang barangkali terpompa untuk terakhir
kali.
Ingatannya masih bersengkilat.
Masih berputar
mengingat semuanya. Ingatan yang ingin ia matikan, seiring matinya raga yang
sudah lemah ini.
Ya... sudah
berhari-hari makanan menjadi barang langka.
Sebelum senjata
di tangan tentara-tentara itu menyalak mencabut nyawanya, beserta sepuluh
temannya. Sebelum orang-orang yang dulu diperjuangkannya itu mengubur jasadnya
di dalam lobang besar, tanpa nisan tentu saja.
Ingin ia
melepas semua egonya. Melepas ego manusiawinya yang lekat dengan keduniawian.
Seperti yang
ia rasakan beberapa bulan terakhir.
saat ia bisa tertawa pahit. Betapa bodohnya ia yang dikuasai nafsu berkuasa, juga cita-cita menegakkan ideologi muluk yang ternyata hampa.
saat ia bisa tertawa pahit. Betapa bodohnya ia yang dikuasai nafsu berkuasa, juga cita-cita menegakkan ideologi muluk yang ternyata hampa.
Lalu menjumpai
kehampaan lain yang membuatnya nyaman.
Sampai bisa memeram rasa sakit karena dihianati. Karena di hajar berkali oleh tentara yang duu adalah bawahannya.
Sampai bisa memeram rasa sakit karena dihianati. Karena di hajar berkali oleh tentara yang duu adalah bawahannya.
Diingatnya doa-doa
yang seperti menjadi cahaya.
Lirih di
dengarnya suara nyanyian internasionale dinyanyikan rekannya. Sebelumnya iapun
ikut menyanyikan.
Untuk meneguhkan
semangat juang mungkin:
C'est la lutte finaleGroupons-nous, et demain
L'Internationale
Sera le genre humain
Inilah perjuangan penghabisan,
Mari kita berkumpul, maka besok,
Internasionale,
akan jadi ras manusia.
Sementara ia memilih bisu. Setelah
ketenteraman itu berangsur menyusupi hati dan jiwanya.
sampai kemudian senjata para
serdadu itu menyalak, “dorrrrr”...Menghajar tubuhnya mengenai jantung.
Juga tubuh kesepuluh temannya.
Tubuhnya tersungkur, rebah
sehina-hinanya.
***
Orang-orang itu cekatan menimbun
jasadnya.
Sampai tanah yang sebelumnya menggunung jadi rata.
Lalu meninggalkannya. Tanpa nisan atau sekedar tanda.
Diantara debu kemarau yang kering dan nestapa.
Lalu meninggalkannya. Tanpa nisan atau sekedar tanda.
Diantara debu kemarau yang kering dan nestapa.