blog yg lain

Sunday, May 19, 2013

Nocturno


Rokok segera berpindah tangan,
mulut itu rakus menghisapnya. Tak lama kopi di gelas plastik yang menyisakan cairan tak lebih setengah senti dari ampas itupun tandas.

Langit merah di ufuk barat Jakarta mulai menggelap.
Bangunan pencakar langit hitam jangkung menciptakan siluet angkuh.
Di ujungnya cahaya memendar sisa matahari yang masih bias. lalu hilang.
Tiga orang itupun berajak. Berjalan berurutan menciptakan bayangan diatas jembatan.
Lalu pontang-panting lagi, mengejar bis dan "mengawal" dengan lagu ala mereka.
#
Malam hampir pulas.
Ketiga orang itu kini menepi. Sebuah kota kecil yang saat malam penghuninya dua kali lipat dari saat siang.
Kota yang tak lebih hanya jadi ranjang tidur sebagian penduduknya.
Juga sebagai tempat buang tai dan sperma. Jangan lupakan itu.

Sebuah tempat mirip gudang mereka masuki.
Halaman gelap karena lampu penerang baru putus kemarin sore.
Anjing kecil menggeram menyambut mereka. Disusul dengking kecil saat kaki salah seorang menyepak tepat di perut si anjing malang.
Sekerat tulang dilemparkan, menjadi penghibur si anjing kecil yang tertatih mendekat.
lalu mengunyah dengan rakus, melupakan sepakan di perut barusan.

Malam masih menggeliat.
Suara mulut dan denting gitar sekenanya. Ditalu bunyi katak dari  kolam depan rumah.
Bernyanyi  tanpa perlu koordinasi untuk nada yang sempurna.
Nada-nada itu seperti merayap di nadi masing-masing orang lalu memompa darah sampai kepala, jantung, hati dan sekujur tubuh. Menggerakkan hidup dalam irama masing-masing.
Menyanyi adalah sebuah upaya. Ya, upaya menunda kekalahan. Atau bahkan melupakan sama sekali. Toh selalu ada waktu untuk membalas dendam. Atau sekedar serapah.
Hidup bisa sangat rumit, atau bisa begitu saja di sederhanakan. Mengalir saja, sampai mata berat, lalu lelap.

Dini hari menciptakan embun.
Hampir pagi saat semua tiba-tiba sunyi. Hanya katak yag belum bosan memberi tanda. Mungkin besok hujan.
Bahkan katakpun ragu dengan cuaca yang makin susah diterka.

Subuh berselimut dengkur
Dengkur yang mengabaikan doa-doa yang lantang dari TOA masjid sebelah.
Dengkur yang menandakan betapa lelapnya tidur, yang bisa jadi berselimut mimpi,
tentang apapun.
Mungkin tentang cinta yang menuntun langkah mereka menuju benderang kota.
Lalu menyetubuhi tiang lampu jalanan.

Atau mimpi tentang rindu yang tak pernah bersandar.
Menciptakan suara berdecit memilukan.
Melahirkan banjir dan lolong anjing kelaparan.
Melahirkan pencarian tentang Tuhan yang makin samar....

Dan hidup terus berputar.
Membangunkan mereka lagi.
Setidaknya sampai saat perut minta di isi.

Menunggu Maut



Jan 5, '08 9:17 AM


"Siapa di depan itu?" Tanyamu lemah.

Sesosok hitam berdiri di depan pintu.
Tangannya memegang sesuatu.
"Mendekatlah!!", serumu..
Seruan yang dulu akan menggetarkan  siapapun yang mendengarnya.
Bahkan harimau terganaspun akan terdiam ketakutan mendengar hardikanmu

Sosok itu masih diam.
Tak juga mendekat seperti orang-orangmu dulu.
yang begitu "bungah" mengerubungimu.
Yang berebutan bahkan misalnya harus menciumi kakimu. Menjilati daki-daki yang melekat di tubuhmu.
Orang-orang yang akan melakukan apa saja demi mendapat kata-kata saktimu.
Kata-kata yang berarti ijin..
 ijin membabat hutan.. Ijin mengeruk tanah..
Ijin menggangsir pantai.. Ijin  membangun ketakutan..
Ijin membuat teror.. Bahkan Ijin membunuh..

Orang-orang itu memang masih mengitarimu..
Masih mengerubungimu.
Masih menunjukkan loyalitasnya.. Kesetiaannya.
Bahkan bila kau mampu menyuruh.
Mereka masih mau menelan ludahmu... Bahkan kalau perlu menjilat pantatmu sekalipun.

Luar biasa.. Kamu memang luar biasa!!

Tetapi kini. Ada yang tak mau menuruti kata-katamu..
Mengabaikan seruanmu.. 
Membiarkanmu sekarat...
Bahkan Doa-doa dari para Kiai bayaranmu. Para Dai dan Ustad yang di datangkan
untuk membacakan ratusan kali pengggalan ayat suci itu pun..
Tak mampu menolongmu.. 
Tak memberimu kesejukan.. 
Tak bisa mengusir rasa panas di ruangan ber AC tempatmu tergeletak.

"Tuan!!".. Serumu.. "Apakah Tuan malaikat maut?"..Tanyamu lemah..
"Cabut nyawaku tuan!! Cabut!!" rintihmu tersedu

Kamu sudah pasrah. Beberapa kali menggelinjang dalam kesakitan, dan itu berarti membuat repot perawat yang siaga 24 jam di sisimu. Menimbulkan ledakan tangis dari putrimu, yang sangat takut kehilanganmu. 
Kematianmu berarti matinya kuasa. 
Yang selama ini langgeng dan memudahkan anak-anakmu berbuat apa saja. 
Menginjak siapa saja.

Kesakitan yang sangat, amat sangat. Tak dirasakan oleh orang-orang yang merasa mencintaimu. Mereka sejatinya sedang menuruti ego. Saat berat melepasmu, sebenarnya sedang keberatan melepas kuasa yang selama ini membayang di belakang figurmu.
Kamu yang sekarat sebenarnya sedang di perkuda kepentingan orang-orang terdekatmu.
Cinta mereka mengabaikan rasa sakit yang kau sandang.
Memperpanjang sekarat yang sangat menyengsarakanmu...

Yang membuatmu merintih-rintih. Di hadapan sosok hitam yang masih diam.

Hanya mata merahnya saja
Yang tajam. Menatapmu. Membuatmu seperti ditusuk belati berulang kali.
Tetapi tak mati-mati

Friday, May 17, 2013

Amarah Hujan



Jalanan masih basah oleh hujan,  yang sepertinya tak bosan-bosan. 
Menggerimisi aspal dan kita. “Tuhan sedang iseng” katamu sambil tertawa. Aku nyengir lebar meski tak tahu apa maksudmu berkata begitu. Kurengkuh bahumu. ” Aku pengen iseng juga ah” kataku sambil bersicepat memagut mulutmu.. kamu tak sempat menghindar. Hanya bengong sesaat, kemudian larut oleh energi yang merasuk lewat mulutku. Merengsek ke dalam tubuh dan mendidihkan darah. Tak peduli orang-orang yang melihat ke arah kita. Sinis, jijik,  atau kepengen? Hahaha

Hujan melambatkan waktu. Membuat kita betah berberlama-lama meski di halte yang disampingnya ada tempat sampah menebarkan bau tak sedap. Sepertinya cinta mengharumkan serta mengusir bau busuk itu. Cinta, yang sedang bermain-main di hati kita. Kita seperti memiliki dunia lain yang dimana segalanya selalu menjadi indah. Hujan dan petir yang menggemuruh menjadi irama rampak menghangatkan. Tetesan air yang tampias mengenai wajahmupun bukan penyebab gigil karena aku selalu menghapusnya dengan ujung telunjuk. Kau pun melakukan hal yang sama. Menghalau setiap tetes air yang “iseng” mendarat di wajahku. Cinta membuat kita tak hirau oleh tatapan “aneh” orang-orang di sekitar kita. Cinta... Ia meniadakan rasa malu. Ia menebalkan satu rasa, “lampiaskan hasratmu.lampiaskann!!!”

Dua jam lebih kita berteduh di halte. Beberapa orang nekat menerobos hujan. Beberapa melompat keatas bus yang berhenti di depan halte. Entah, kita masih ingin berlama-lama. Penjual rokok disamping tampak terkantuk-kantuk. Cuaca seperti ini memang paling enak tidur. Memeluk guling atau memeluk pasangan . seperti yang kulakukan saat ini. Memelukmu,menciummu… dan...  menggaulimu laksana Adam dan hawa yang lupa diri. Di halte itu..
Ya.. di halte itu.

Tiba-tiba, entah darimana datangnya, rombongan orang berbaju putih.
Sambil meneriakkan kata dalam bahasa asing.
 Mereka menerjang kita!
Menghajar mulutku.
Menginjak kelaminku.
Menggebuk tengkukku!!
Kamu pun tak luput dari hajaran. Perutmu diinjak-injak! Wajahmu koyak..!
Dan lamat-lamat kudengar teriakan!!
“Bakar!!! Bakar!!! Bakar pezinaa!!!”

Yang kurasakan berikutnya adalah...
Siraman dingin dari cairan yang membasahi tubuhku.
T
ubuh kita...
kemudian terasa panas bara meruam disekujur tubuhku, juga tubuhmu. 
Kita dibakar!!

Ya.. Mereka ternyata benar-benar mewujudkan niatnya.
 Mewujudkan teriakannya...

Tak lama kemudian, kita berkelojotan.
Seperti babi panggang. Dibakar oleh orang-orang itu.. Orang-orang yang merasa suci itu...
Sambil berteriak-teriak menyebut nama Tuhannya
Seakan memenangkan sebuah perang suci
Lalu panas menjalar! 
Panas yang sangat!
Aku memeluk kamu
Kamu mencium mulutku
Kita berkelojotan sambil berpelukan
Sambil berciuman
Sampai kemudian gelap mengepung...
Gelap seutuhnya...

Koran pagi memberitakan,
“Sepasang gembel yang sedang berzina mati dibakar massa”