blog yg lain

Tuesday, June 4, 2013

lagu POP

Fragmen ke 1
Malam merambat tua.
Bulan merah membulat kusam.
Semakin kuyup jiwa ngungun  dengan lagu-lagu yang mengalun.
George Benson, Johny Logan, Linda Ronstard...
Menggiring nalar pada tepian waktu, saat lengang jalanan seputar Bunderan UGM masih menjadi jujugan. Sekedar menumpahkan gelisah. Atau melabuh  lelimangan naluri nakal nan kurang ajar, yang sayang untuk di kekang.
“Jangan...  Jangan ditahan. Tumpahkan saja... Luapkann...”  Itu katamu.
“Karena itu harta kita. Harta kita hanyalah kenangan yang meneduhkan.”
“Bee Gees, Phil Collin, Tomy Page, lalu  Jackson Pollock... andy Warholl... Basquiat…Kostabi.”
“Oh.. kau melantur sayang.. yang kau sebut barusan pengagum Ramones.“ kataku.
Kau terbahak...
Malam masih memanjakan... memanjakan rasa ini berbalur indah kenangan.
Air supply, Rhavi Sangkar, Rhoma Irama...  “darah muda...oh... begadang jangan begadang...”

Fragmen ke 2
Kau berpikir aku sakit hati.
Nanar dengan nalar terlempar hingga bulan Syawal kemarin. Tak ku jejakkan kakiku di pelataranmu.
Menyentuh tangan tegar bundamu, menatap matamu dalam-dalam, dan memutar kembali lagu rindunya Tic Band di dalam hati yang gemuruh.
Tak juga kupenuhi janjiku membawakan bacaan kesukaanmu.
Menumbuhkan kembang  melati di sela pohon rambutan yg mulai berbunga, atau melamun dengan Adagio C Minornya Yani di selasar rumahmu..
oh...  Tidak ada sesak yg menggumpal.
 Hanya enggan yang menahan langkah ini melaju di pintu rumahmu.
Atau mungkin aku telah jatuh cinta lagi, dengan dewi malam atau dengan bidadari penjaga pengkolan hati orang-orang jomblo yang galau tetapi tak punya nyali untuk bunuh diri.
Hmm...

Jangan-jangan  aku telah lelah menunggu.
Karena menunggu adalah pekerjaan paling menguras perasaan.
Lagian  aku bukan terminal, yang setia menunggu musafir seperti apa bentuk rupanya.
Dari  bajingan sampai pecundang. Dari lonte murahan sampai gigolo kurang bekal.
Seperti mantan pacarmu dulu.
Yang sukses kubuat bengkak-bengkak wajahnya.
Bukan karena aku cemburu... Bukannn.
Hanya wajahnya yang nyolot sukses membuat didih di kepalaku tak tertahan lagi.

 Fragmen ke 3
Jakarta adalah ritme liat.
Meski enggan, selalu kaki ini ingin kembali menapakinya.
Terjebak dalam riungan hari yang menjebi.. dalam teriakan histeris “Screamm” March Cagall.
Dalam warna-warni  cipratan ritmis Pollock… menyeruak dan terengah dalam geliat yang cepat memompa adrenalin… samar kudengar Linkin Park.

Kau enggan menginjaknya.
Bagimu keselarasan adalah utama. Irama perkutut dengan klenengan guntur madu adalah ritme yang meneduhkan. sepoi kabut pasir hasil pusaran angin di gumuk Parangkusumo dengan lonte setengah tuanya adalah puisi tanpa kata.
Itu adalah muskil kau rasakan disini.
Meski di Prumpung ada juga lonte setengah tua. Banyak malahan.

Jakarta.
Kota  yang naik bis kota adalah sebuah pertarungan.
Naik kereta adalah pergulatan.
 Jalan kakipun sebuah pertaruhan.
Tak ada trotoar yang menyapa ramah seperti Malioboro.
Tak ada tegur sapa tulus seperti di pasar Pundong, tak ada basa-basi, yang pasti
Tak ada ketak blondo dengan rumput laut kehijauan yang asinnya bikin ngilu.
Meski Jogja juga sudah tak seromantis lagunya KLA Project.
Kekerasan kadang mucul tak terduga, seperti yang terjadi kemarin dulu. Penembakan sadis dan serampangan.
Imbas dekatnya markas tentara baret merah dari kota yang kamu agung-agungkan itu.

Tapi aku tak memaksamu.
Untuk menyintai Jakarta layaknya aku.
Karena irama kita telah beda, nafas kita tak senada.

Atau.. jangan-jangan  aku telah jatuh cinta lagi...

Karena... tak ada cinta yang abadi.


Kecuali kita merawatnya, dengan sepenuh hati.
Hingga bisa berakhir sampai ujung waktu,
seperti lagu yang serak dinyanyikan oleh Duta.
yang kasetnya kau simpan dekat kitab suci.
Yang  tiap bait syairnya sering kau lafalkan khusuk,
 saat  dini hari.


No comments:

Post a Comment