Dua kali aku melihat
lelaki itu.
Pertama kali, saat aku makan di warteg ujung jalan Pemuda. Keduanya hari ini.
Saat aku baru saja meletakkan pantat di bangku depan bengkel dimana aku biasa servis motor.
di bahunya “terselampir” dua buah kursi kayu model tinggi, sepertinya kursi multifungsi sekaligus tangga mini. Biasanya kulihat kursi itu di toko-toko kelontong atau toko sepatu yang sekarang rata-rata sudah “tewas” tergusur minimarket dan mall.
Dari mulutnya lamat ku dengar ia menggumam, “kursi... Kursi..!”
suara yang kemudian tenggelam oleh riuhnya lalulintas Margonda.
Pertama kali, saat aku makan di warteg ujung jalan Pemuda. Keduanya hari ini.
Saat aku baru saja meletakkan pantat di bangku depan bengkel dimana aku biasa servis motor.
di bahunya “terselampir” dua buah kursi kayu model tinggi, sepertinya kursi multifungsi sekaligus tangga mini. Biasanya kulihat kursi itu di toko-toko kelontong atau toko sepatu yang sekarang rata-rata sudah “tewas” tergusur minimarket dan mall.
Dari mulutnya lamat ku dengar ia menggumam, “kursi... Kursi..!”
suara yang kemudian tenggelam oleh riuhnya lalulintas Margonda.
Ia melafalkan nada suara itu barangkali dari ujung Margonda
sana.
Sampai kemudian melintas di depanku. sambil membawa dua buah kursi.
Lalu, yang kemudian terlintas di benakku adalah, efektifkah caranya itu?
Ia menawarkan dagangan sambil berjalan acuh.
Suaranyapun tak jelas ditujukan kepada siapa…
Saat berjalanpun, kelihatan ada di pinggir jalan raya. Tidak di trotoar, jadi kemungkinan orang mendengar apa yang dikatakan juga sangat tipis.
Apalagi suaranya yang datar itu di “adu” dengan raungan kenalpot kendaraan yang ramai menyesaki margonda.
Sampai kemudian melintas di depanku. sambil membawa dua buah kursi.
Lalu, yang kemudian terlintas di benakku adalah, efektifkah caranya itu?
Ia menawarkan dagangan sambil berjalan acuh.
Suaranyapun tak jelas ditujukan kepada siapa…
Saat berjalanpun, kelihatan ada di pinggir jalan raya. Tidak di trotoar, jadi kemungkinan orang mendengar apa yang dikatakan juga sangat tipis.
Apalagi suaranya yang datar itu di “adu” dengan raungan kenalpot kendaraan yang ramai menyesaki margonda.
Ekpresi wajahnya
juga... Kulihat datar.
Tak ada ekpresi penuh gairah layaknya orang menawarkan produk yang harus laku.
Ekpresi kegairahan seorang marketing kaki lima yang selama ini sering kujumpai di pasar-pasar, semisal pedagang obat atau alat elektronik, tak kulihat dari caranya..
Lakukah dagangannya?
Belum lagi beban dua kursi itu lumayan berat.
Tak ada ekpresi penuh gairah layaknya orang menawarkan produk yang harus laku.
Ekpresi kegairahan seorang marketing kaki lima yang selama ini sering kujumpai di pasar-pasar, semisal pedagang obat atau alat elektronik, tak kulihat dari caranya..
Lakukah dagangannya?
Belum lagi beban dua kursi itu lumayan berat.
Barangkali Tuhan
punya mekanisme pembagian rejeki buat semua orang, termasuk lelaki itu.
Buktinya ia masih berjualan dengan caranya.
Tentunya ia melakukan itu bukan hari ini dan kemarin saja.
Bisa jadi sudah bertahun-tahun
Tentunya ia melakukan itu bukan hari ini dan kemarin saja.
Bisa jadi sudah bertahun-tahun
Tetapi, tetap aneh saja menurutku.
Juga, sangat tidak efektif..
Juga, sangat tidak efektif..
Ah.. Lelaki itu sudah hilang dari pandanganku.
Ternyata meski kelihatan lambat, lesat juga langkahnya.
Atau mungkin aku yang kelamaan melamun.
Jangan-jangan sudah sampai di depan warteg tempatku makan kemarin di jalan Pemuda sana..
Pastinya, masih sambil menggumam…” Kursi..Kursii!! “
Ternyata meski kelihatan lambat, lesat juga langkahnya.
Atau mungkin aku yang kelamaan melamun.
Jangan-jangan sudah sampai di depan warteg tempatku makan kemarin di jalan Pemuda sana..
Pastinya, masih sambil menggumam…” Kursi..Kursii!! “
@seblat
No comments:
Post a Comment