Wajah
itu seperti kukenal.
Dalam batas jarak pandangku, kulihat ia di seberang jalan.
Berdiri di halte yang terletak persis di seberang apartemen. Dengan baju yang tak asing di ingatanku. Sayang hujan lebat menghambatku untuk berusaha mendekatinya.
Kuyakinkan sekali lagi pengelihatanku.
Tetapi sosok itu telah hilang.
Kedua kalinya kulihat perempuan itu. Tampak duduk di dalam kafe langgananku. Saat itu aku akan keluar meninggalkan kafe. Kulihat di selasar depan, di kursi pojok kiri. Tempat yang sering kupilih untuk menyendiri saat memang sedang ingin sendiri. Perempuan itu tampak menempatinya. Kami sempat bertatapan sejenak. Kuyakinkan bahwa ia memang perempuan yang pernah begitu istimewa, bersemayam di hatiku.
Dalam batas jarak pandangku, kulihat ia di seberang jalan.
Berdiri di halte yang terletak persis di seberang apartemen. Dengan baju yang tak asing di ingatanku. Sayang hujan lebat menghambatku untuk berusaha mendekatinya.
Kuyakinkan sekali lagi pengelihatanku.
Tetapi sosok itu telah hilang.
Kedua kalinya kulihat perempuan itu. Tampak duduk di dalam kafe langgananku. Saat itu aku akan keluar meninggalkan kafe. Kulihat di selasar depan, di kursi pojok kiri. Tempat yang sering kupilih untuk menyendiri saat memang sedang ingin sendiri. Perempuan itu tampak menempatinya. Kami sempat bertatapan sejenak. Kuyakinkan bahwa ia memang perempuan yang pernah begitu istimewa, bersemayam di hatiku.
Tetapi, lagi-lagi, rasa sakit ini membawa kakiku menjauh.
Menggiring langkah bergerak cepat.
Saat kutengok ke belakang setelah aku sampai di bibir jalan.
Lagi-lagi.. Sosok itu menghilang.
Kulirik jam, sudah diangka 2.04 WIB. Mana mungkin anak itu keluar jam segini. Setahuku, ia dulu suka kelayapan sampai pagi ya hanya denganku.
Ah, sudah lah, sebuah taksi melintas dan tanganku spontan melambai. Tahu-tahu aku didalamnya dan melesat menuju pinggiran Jakarta menuju tempat tinggalku.
Menggiring langkah bergerak cepat.
Saat kutengok ke belakang setelah aku sampai di bibir jalan.
Lagi-lagi.. Sosok itu menghilang.
Kulirik jam, sudah diangka 2.04 WIB. Mana mungkin anak itu keluar jam segini. Setahuku, ia dulu suka kelayapan sampai pagi ya hanya denganku.
Ah, sudah lah, sebuah taksi melintas dan tanganku spontan melambai. Tahu-tahu aku didalamnya dan melesat menuju pinggiran Jakarta menuju tempat tinggalku.
Pertemuan
ketiga. Kali ini aku menemui perempuan itu di bandara, saat akan terbang menuju
Surabaya. Tepatnya di restoran cepat saji yang lagi-lagi adalah… tempat dimana
dulu aku pernah menunggu dia.
Saat aku dengan sekantung donat. Menunggu pesawat yang ditumpanginya, yang ternyata terlambat datang.
Di deretan depan kursi keperakan itu. Dengan mulut yang tak berhenti mengunyah karena menahan tegang yang amat sangat. Kegelisahan laki-laki yang takut gadisnya mengalami celaka.
Ia sekarang terpekur disitu. Lagi-lagi, perasaan sakit ini yang menahan kakiku mendekatinya.
Saat aku dengan sekantung donat. Menunggu pesawat yang ditumpanginya, yang ternyata terlambat datang.
Di deretan depan kursi keperakan itu. Dengan mulut yang tak berhenti mengunyah karena menahan tegang yang amat sangat. Kegelisahan laki-laki yang takut gadisnya mengalami celaka.
Ia sekarang terpekur disitu. Lagi-lagi, perasaan sakit ini yang menahan kakiku mendekatinya.
Aku
menghambur cepat meninggalkan sosoknya sambil menyeret bawaanku yang lumayan
berat. Pesawat segera berangkat.
Dalam
perjalanan didalam taksi dari Juanda menuju Surabaya kota, baru terpikir
olehku, ada yang aneh dalam setiap perjumpaanku dengannya.
Perempuan itu menampakkan diri di tempat-tempat dimana aku dulu pernah mempunyai kenangan dengannya. Baik kenangan pahit ataupun manis. Kuingat-ingat. Pertama kali ia menampakkan diri di depan apartemen adalah tempat dimana kami dulu pernah bertengkar hebat. Halte depan apartemen dan hujan yang mengguyur hebat. Hmm.. sebuah kebetulan yang ajaib. Saat di kafe itupun. di tempat biasa aku menenggelamkan diri. Ia datang di suatu malam. Menemuiku menyampaikan kabar itu. Kabar yang melantakkan semuanya.
Kemudian terakhir, di bandara.
rasa penasaran ini membuatku merogoh saku jaket. mengeluarkan HP dan memencet nomer seluler. Suara “tut..tut...” menandakan HP tidak aktif. Kuingat, nomor lain yang bisa kuhubungi. Ya.. nomer rumahnya. tetapi…. Ah, kusingkirkan rasa ragu dihati, yang sempat meruyak dari kemarin.
Yang selalu menahan langkahku menemuinya.
Bukan kaki ini yang malas menemuinya. Tetapi sepertinya hati ini yang masih terasa seperti disayat.
Kupencet nomor rumahnya.. Nada mengisyaratkan tersambung, kemudian ada yang mengangkat telepon. “Assalamualaikum!” Sapaku sopan. “Waalaikum salam…” suara lembut di seberang. sebertinya suara bunda.
“Saya Rizal bu” aku menguluk diri. Tak kudengar jawaban dari seberang telpon. Diam… Lumayan lama, sepi mengepung percakapan yang coba kubangun. Kemudian, terdengar tarikan nafas dalam disusul suara isak… Isak tangis tertahan. “Nak Rizal sudah tahu kalau Nita meninggal?”
Perempuan itu menampakkan diri di tempat-tempat dimana aku dulu pernah mempunyai kenangan dengannya. Baik kenangan pahit ataupun manis. Kuingat-ingat. Pertama kali ia menampakkan diri di depan apartemen adalah tempat dimana kami dulu pernah bertengkar hebat. Halte depan apartemen dan hujan yang mengguyur hebat. Hmm.. sebuah kebetulan yang ajaib. Saat di kafe itupun. di tempat biasa aku menenggelamkan diri. Ia datang di suatu malam. Menemuiku menyampaikan kabar itu. Kabar yang melantakkan semuanya.
Kemudian terakhir, di bandara.
rasa penasaran ini membuatku merogoh saku jaket. mengeluarkan HP dan memencet nomer seluler. Suara “tut..tut...” menandakan HP tidak aktif. Kuingat, nomor lain yang bisa kuhubungi. Ya.. nomer rumahnya. tetapi…. Ah, kusingkirkan rasa ragu dihati, yang sempat meruyak dari kemarin.
Yang selalu menahan langkahku menemuinya.
Bukan kaki ini yang malas menemuinya. Tetapi sepertinya hati ini yang masih terasa seperti disayat.
Kupencet nomor rumahnya.. Nada mengisyaratkan tersambung, kemudian ada yang mengangkat telepon. “Assalamualaikum!” Sapaku sopan. “Waalaikum salam…” suara lembut di seberang. sebertinya suara bunda.
“Saya Rizal bu” aku menguluk diri. Tak kudengar jawaban dari seberang telpon. Diam… Lumayan lama, sepi mengepung percakapan yang coba kubangun. Kemudian, terdengar tarikan nafas dalam disusul suara isak… Isak tangis tertahan. “Nak Rizal sudah tahu kalau Nita meninggal?”
Aku
tercekat…
Kakiku mendadak lemas...
Kakiku mendadak lemas...
@seblat
No comments:
Post a Comment