Tahun 1983
Bulan Puasa sudah memasuki sepuluh hari terakhir,
Bulan Puasa sudah memasuki sepuluh hari terakhir,
Aku belum bolong sekalipun. Hebat kan...
Di sisa sepuluh hari ini, aku meniatkan jangan sampai
puasaku batal. Meski panas kemarau memanggang kepala saat membantu ibu menjemur
gabah, bakal nasi.
Ibuku menjemur gabah hasil panennya sendiri. Tentu
saja dibantu aku dan kakakku.
Di halaman rumah joglo kakek kami itulah, kami
bersibahu menjemur padi. Setelah bulir-bulai gabah itu sebelumnya di “gebug”
dengan bongkot pelepah kelapa. Biasanya kang Basuki, tetangga depan rumah yang membantu
ibu. Tenaganya besar sekali.
Setelah gabah kering, ibu sering menumbuknya sendiri
di lesung samping rumah d bawah pohon jeruk.
Suaranya nyaring “blug.. blug.. blug’... beras yang
dihasilkanpun lebih enak daripada beras hasil gilingan mesin. Lebih wangi.
Memakan beras hasil olahan ibu, cukup dengan ikan teri dan sambel tomat, dijamin enak sekali.
Lebaran kali ini, aku tidak ke kota, ke rumah bapak.
Kabarnya bapak dan kakak-kakakku yang akan ke Nglembu.
Kabarnya bapak dan kakak-kakakku yang akan ke Nglembu.
Mereka akan menjadi serombongan orang kota yang tampak
pongah berkeliling kebun kakek. Memetik buah-buahan, atua mancing ikan di tebat
belakang rumah.
Memancing ikan mujaher yang susah payah kupelihara.
Tetapi tidak apa-apa. Rumah jadi ramai kalau ada
mereka.
Sepi menghilang. Rumah juga benderang karena ayah menyalakan lampu petromaks di ruang tengah.
Sepi menghilang. Rumah juga benderang karena ayah menyalakan lampu petromaks di ruang tengah.
Biasanya kami hanya memakai teplok yang nyalanya
kemerahan temaram.
Kalau lampu pompa yang kami menyebut mereknya “petromaks” menyala, giranglah hati. Ruangan kami terang benderang. Jadi bisa sigap lelumpatan bermain jethungan didalam rumah dengan Pangat dan Domber. Meski tak bisa lama karena dimarahi ibu.
Kalau lampu pompa yang kami menyebut mereknya “petromaks” menyala, giranglah hati. Ruangan kami terang benderang. Jadi bisa sigap lelumpatan bermain jethungan didalam rumah dengan Pangat dan Domber. Meski tak bisa lama karena dimarahi ibu.
Hari ini aku menunggu mereka,
Gerombolan orang kota itu.
Prenjak dari pagi sudah nyaring berbunyi. Seakan
mengabarkan bakal ada tamu.
Ibu bilang, kalau prenjak berbunyi berarti tamu akan
datang.
Susahnya prenjak kadang tak terprediksi. Ia sering
berada di posisi yang membingungkan. Seperti hari ini. Ia berkicau di pohon kapuk
yang posisinya pas di batas pagar rumahku dan rumah pakde Kabdi, tetangga
sebelah rumah. Jadi, tamu siapa yang akan datang? Tamu Pakde Kabdi, atau tamu
rumahku?
Ah biarlah, yang penting ada harapan. Dan harapan
selalu menumbuhkan semangat. Puasa jadi terasa lebih singkat. Tahu-tahu saja
sudah sore.
Prenjak hari ini kurang tepat sepertinya.
Tidak ada tamu seorangpun berkunjung ke rumahku sampai mahgrib.
Tidak ada tamu seorangpun berkunjung ke rumahku sampai mahgrib.
Tentu saja kecewa, tetapi tidak apa.
Malam ini aku akan taraweh di masjid kampung di
selatan sana. Dekat jalan utama.
Tentu bersama Pangat dan Domber.
Tentu bersama Pangat dan Domber.
Taraweh di kampung kami sungguh memanjakan anak-anak.
Saat selesai solat 20 rakaat plus 3 raka'at witir yang tentu saja menyita tenaga, anak-anak akan
mendapatkan penganan yang disebut “jaburan”
Jaburan favorit kami adalah nasi gurih dengan suwiran daging
ayam dan kacang tholo yang ditempatkan
di daun pisang yang kami sebut takir.
Nasi takir inilah yang ditunggu-tunggu anak-anak. Tetapi, kalau sudah kelihatan kardus berisi roti.. sontak kami akan bergumam “aaaa” pertanda kecewa. Bahkan, saking fanatiknya dengan nasi takir, kang Sartono menggambarnya dengan pinsil di tembok jerambah masjid. Gambar takir lengkap dengan tulisan “Takir wasiat,” entah apa maksudnya. Tetapi saat membaca itu, kami akan terbahak-bahak tertawa.
Nasi takir inilah yang ditunggu-tunggu anak-anak. Tetapi, kalau sudah kelihatan kardus berisi roti.. sontak kami akan bergumam “aaaa” pertanda kecewa. Bahkan, saking fanatiknya dengan nasi takir, kang Sartono menggambarnya dengan pinsil di tembok jerambah masjid. Gambar takir lengkap dengan tulisan “Takir wasiat,” entah apa maksudnya. Tetapi saat membaca itu, kami akan terbahak-bahak tertawa.
Yah, ritual ibadah seperti puasa, juga lebaran
sejatinya adalah milik kami, para anak-anak.
Kamilah yang sepenuhnya menikmati.
Kamilah yang sepenuhnya menikmati.
Seperti aku yang selalu setia menunggu prenjak nyaring
di depan rumah.
Berharap keluargaku dari kota datang. Membawakan baju
lebaran, atau sekaleng besar biskuit Khong Guan. Aku sudah bosan makan tape
ketan dan rengginang.
Seperti hari ini, ibu menyarankan aku dan Mahmud
kakakku menunggu di batas desa dekat jalan raya. Prenjak yang berbunyi sangat
meyakinkan sekali. Tepat di atas teritis rumah di dahan kapuk yang menjuntai.
Lalu aku berlari-lari kecil berendengan dengan Mahmud
kakakku. Menuju perempatan Paker, Jalan Parangtritis. Melewati pematang sawah kalen tengah. Kalen
dimana aku dan Mamuk, panggilan akrab kakakku, sering mandi dan mencari ikan.
Panas yang terik menggoda aku dan kakakku untuk
terlebih dahulu mandi di kali dengan dam kecil yang menahan air sehingga menjadi agak dalam. Bahkan bisa
menenggelamkanku.
Tak lama datang seorang kawan, Mustofa namanya
Ia adalah anak takmir masjid yang masih saudaraku.
Kami lalu mandi bersama. Bercanda sampai lupa waktu.
Tak terasa sudah ashar. Mustofa buru-buru pulang karena harus berjamaah di
masjid.
Aku dan Mamuk balik ke rumah. Lupa rencana awal
menunggu sodara-sodara yang akan datang.
Saat sampai halaman, kulihat banyak sendal dan sepatu
berjajar..
Sontak hati ini gembira, saat melihat salah satu sandal itu milik bapakku.
Sontak hati ini gembira, saat melihat salah satu sandal itu milik bapakku.
Berarti mereka sudah datangggg...
Kali ini burung Prenjak bisa dipercaya kicauannya
@seblat | ledok ciliwung | depok | 2012
No comments:
Post a Comment