blog yg lain

Wednesday, July 10, 2013

Prenjak di pohon kapuk

Tahun 1983

Bulan Puasa sudah memasuki sepuluh hari terakhir,
Aku belum bolong sekalipun. Hebat kan...
Di sisa sepuluh hari ini, aku meniatkan jangan sampai puasaku batal. Meski panas kemarau memanggang kepala saat membantu ibu menjemur gabah, bakal nasi.
Ibuku menjemur gabah hasil panennya sendiri. Tentu saja dibantu aku dan kakakku.
Di halaman rumah joglo kakek kami itulah, kami bersibahu menjemur padi. Setelah bulir-bulai gabah itu sebelumnya di “gebug” dengan bongkot pelepah kelapa. Biasanya kang Basuki, tetangga depan rumah yang membantu ibu. Tenaganya besar sekali.
Setelah gabah kering, ibu sering menumbuknya sendiri di lesung samping rumah d bawah pohon jeruk.
Suaranya nyaring “blug.. blug.. blug’... beras yang dihasilkanpun lebih enak daripada beras hasil gilingan mesin. Lebih wangi. Memakan beras hasil olahan ibu, cukup dengan ikan  teri dan sambel tomat, dijamin enak sekali.

Lebaran kali ini, aku tidak ke kota, ke rumah bapak.
Kabarnya bapak dan kakak-kakakku yang akan ke Nglembu.

Mereka akan menjadi serombongan orang kota yang tampak pongah berkeliling kebun kakek. Memetik buah-buahan, atua mancing ikan di tebat belakang rumah.
Memancing ikan mujaher yang susah payah kupelihara.

Tetapi tidak apa-apa. Rumah jadi ramai kalau ada mereka.
Sepi menghilang. Rumah juga benderang karena ayah menyalakan lampu petromaks di ruang tengah.
Biasanya kami hanya memakai teplok yang nyalanya kemerahan temaram.
Kalau lampu pompa yang kami menyebut mereknya “petromaks” menyala, giranglah hati. Ruangan kami terang benderang. Jadi bisa sigap lelumpatan bermain jethungan didalam rumah dengan Pangat dan Domber. Meski tak bisa lama karena dimarahi ibu.

Hari ini aku menunggu mereka,
Gerombolan orang kota itu.
Prenjak dari pagi sudah nyaring berbunyi. Seakan mengabarkan bakal ada tamu.
Ibu bilang, kalau prenjak berbunyi berarti tamu akan datang.
Susahnya prenjak kadang tak terprediksi. Ia sering berada di posisi yang membingungkan. Seperti hari ini. Ia berkicau di pohon kapuk yang posisinya pas di batas pagar rumahku dan rumah pakde Kabdi, tetangga sebelah rumah. Jadi, tamu siapa yang akan datang? Tamu Pakde Kabdi, atau tamu rumahku?

Ah biarlah, yang penting ada harapan. Dan harapan selalu menumbuhkan semangat. Puasa jadi terasa lebih singkat. Tahu-tahu saja sudah sore.

Prenjak hari ini kurang tepat sepertinya.
Tidak ada tamu seorangpun berkunjung ke rumahku sampai mahgrib.
Tentu saja kecewa, tetapi tidak apa.
Malam ini aku akan taraweh di masjid kampung di selatan sana. Dekat jalan utama.
Tentu bersama Pangat dan Domber.

Taraweh di kampung kami sungguh memanjakan anak-anak. Saat selesai solat 20 rakaat plus 3 raka'at witir yang tentu saja menyita tenaga, anak-anak akan mendapatkan penganan yang disebut “jaburan”
Jaburan favorit kami adalah nasi gurih dengan suwiran daging  ayam dan kacang tholo yang ditempatkan di daun pisang yang kami sebut takir.
Nasi takir inilah yang ditunggu-tunggu anak-anak. Tetapi, kalau sudah kelihatan kardus berisi roti.. sontak kami akan bergumam “aaaa” pertanda kecewa. Bahkan, saking fanatiknya dengan nasi takir, kang Sartono menggambarnya dengan pinsil di tembok jerambah masjid. Gambar takir lengkap dengan tulisan “Takir wasiat,” entah apa maksudnya. Tetapi saat membaca itu, kami akan terbahak-bahak tertawa.

Yah, ritual ibadah seperti puasa, juga lebaran sejatinya adalah milik kami, para anak-anak.
Kamilah yang sepenuhnya menikmati.
Seperti aku yang selalu setia menunggu prenjak nyaring di depan rumah.
Berharap keluargaku dari kota datang. Membawakan baju lebaran, atau sekaleng besar  biskuit Khong Guan. Aku sudah bosan makan tape ketan  dan rengginang.

Seperti hari ini, ibu menyarankan aku dan Mahmud kakakku menunggu di batas desa dekat jalan raya. Prenjak yang berbunyi sangat meyakinkan sekali. Tepat di atas teritis rumah di dahan kapuk yang menjuntai.
Lalu aku berlari-lari kecil berendengan dengan Mahmud kakakku. Menuju perempatan Paker, Jalan Parangtritis.  Melewati pematang sawah kalen tengah. Kalen dimana aku dan Mamuk, panggilan akrab kakakku, sering mandi dan mencari ikan.

Panas yang terik menggoda aku dan kakakku untuk terlebih dahulu mandi di kali dengan dam kecil yang menahan  air sehingga menjadi agak dalam. Bahkan bisa menenggelamkanku. 

Tak lama datang seorang kawan,  Mustofa namanya
Ia adalah  anak takmir masjid yang masih saudaraku.
Kami lalu mandi bersama. Bercanda sampai lupa waktu. Tak terasa sudah ashar. Mustofa buru-buru pulang karena harus berjamaah di masjid.
Aku dan Mamuk balik ke rumah. Lupa rencana awal menunggu sodara-sodara yang akan datang.

Saat sampai halaman, kulihat banyak sendal dan sepatu berjajar.. 
Sontak hati ini gembira, saat melihat salah satu sandal itu milik bapakku.
Berarti mereka sudah datangggg...

Kali ini burung Prenjak bisa dipercaya kicauannya 


@seblat | ledok ciliwung | depok | 2012

No comments:

Post a Comment